Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah 50 Tahun, Kopra di Atas Beras

Kompas.com - 13/04/2011, 04:28 WIB

Cuma karena kelapa sempat dipandang masyarakat sebagai sumber kemakmuran di era penjajahan Belanda, maka petani kelapa tetap mempertahankan kebun-kebunnya meski hidup pas-pasan. Untuk mengisi kekurangan ekonomi keluarga, petani pada umumnya mengembangkan kegiatan-kegiatan alternatif.

Di Sulut, umumnya petani kelapa juga petani cengkeh, sebagian menjadi nelayan, sebagian menjadi tukang kayu, atau buruh bangunan, sebagian menjadi pegawai negeri, sebagian lagi merantau.

Provokasi minyak sawit

Eksodus besar-besaran orang Minahasa ke luar Sulut terjadi saat harga kopra rontok total pada 1980-an, mencapai titik paling rendah, sekitar Rp 100 per kg, akibat naiknya pamor minyak sawit. Ketakutan terhadap bahaya kolesterol membuat bagian terbesar konsumen minyak kelapa beralih ke minyak nabati lain.

Namun, melalui sebuah perjalanan panjang, akhirnya kalangan ahli makanan dan gizi, termasuk ahli kesehatan, mengatakan, daging atau buah kelapa tidak mengandung kolesterol. Sejak tiga sampai empat tahun lalu bermunculan hasil-hasil penelitian yang berbasis perguruan tinggi menyimpulkan, minyak kelapa, juga buah kelapa, bisa dibuat minyak kelapa murni (virgin coconut oil) yang bisa menyembuhkan beragam penyakit.

Setelah era harga kopra Rp 100 per kg di awal 1980-an, harga kopra merangkak dan berfluktuasi pada tingkat Rp 500 per kg, dan sekali-sekali menerobos ke angka di atas Rp 1.000 per kg, serta tertinggi RP 4.000 per kg. Sementara itu, khususnya di Manado, kebutuhan terhadap kelapa muda meningkat tajam dan ikut mendorong naiknya harga kopra.

Menurut Herry Rotinsulu, mantan Kepala Dinas Pertanian Sulut, banyak hal mendorong kenaikan harga kopra, yakni adanya perubahan iklim.

Pertama, musim salju di Eropa yang berkepanjangan menjadi penyebab naiknya permintaan pasar terhadap minyak kelapa yang biasa dijadikan sebagai bahan pemanas ruangan. Kedua, akibat perubahan iklim, laut terus bergelora sehingga mengakibatkan suplai kopra atau kelapa, termasuk minyak kelapa menjadi tersendat-sendat. Akibatnya, harga melambung tinggi.

Faktor lain, kebutuhan terhadap buah kelapa semakin beragam. Dulu kelapa hanya untuk dibuat kopra (daging kelapa yang dikeringkan) dan minyak kelapa, tetapi belakangan ini volume pembuatan tepung kelapa meningkat. Juga semakin banyak bahan makanan terbuat dari kelapa.

Sayang, di tengah kenaikan harga kelapa, petani justru dihadapkan pada produksi kelapa yang menurun drastis akibat merosotnya kebun kelapa....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com