Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para Perempuan Itu Memulung Sampah di Laut

Kompas.com - 29/03/2011, 04:10 WIB

Saming (45), nama perempuan tua itu. Tubuhnya yang kecil lagi kurus tak menghalanginya mendayung di atas sampan kecil menjelajahi Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (24/3). Bukan ikan, udang, mutiara, atau kekayaan laut pada umumnya yang ia cari, melainkan sampah!

Ya, Saming adalah satu di antara warga di perkampungan miskin nelayan di Kecamatan Abeli, Kota Kendari, yang sejak beberapa tahun terakhir mencari penghidupan dari menggumpulkan sampah di laut. Hal yang tentu belum lazim, utamanya di Kendari.

”Malu kalau memulung di darat,” ujar Saming singkat ketika ditanya kenapa memulung sampah di laut.

Perempuan yang lahir dan besar di pesisir itu mungkin juga merasa lebih ”nyaman” dengan lingkungan laut ketimbang daratan.

Pekerjaan tak ringan itu terpaksa dilakoni Saming sejak sekitar setahun terakhir. Sejak ditinggal mati suaminya lebih kurang 15 tahun silam, Saming mau tidak mau harus bisa menghidupi diri sendiri dan kedua putrinya. Namun, untuk menjadi nelayan seperti kebanyakan lelaki di kampungnya, Saming tak punya keterampilan maupun peralatan.

Sebenarnya ia memiliki sumber penghidupan lain sebagai petani rumput laut. Namun, hasilnya diarasa tak mencukupi. Belum lagi, rumput laut baru bisa dipanen dalam 40 hari. ”Kalau ini (memulung sampah), bisa setiap hari dapat uang,” kata Saming yang kini tinggal menghidupi dirinya sendiri setelah kedua putrinya menikah.

Penghasilan tambahan

Memulung di laut mulai dijalani Saming setelah melihat beberapa tetangganya yang lebih dulu melakukannya dan terbukti bisa memperoleh penghasilan tambahan lumayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Peluang itu semakin besar karena setiap hari sampah selalu ”terhampar” di teluk. Sampah-sampah itu merupakan buangan langsung dari warga yang beraktivitas di sepanjang teluk atau terbawa aliran 32 sungai yang bermuara di sana.

Maka, jadilah setiap hari Saming turun ke laut saat matahari mulai bersinar, sekitar pukul 5.30 WITA. Ia menjelajahi teluk seluas 1.236 hektar itu dengan sampan dayung sepanjang 2,5 meter dan lebar sekitar 50 sentimeter.

Dengan tangannya, ia memunguti berbagai gelas kemasan air mineral, botol sampo, pecahan ember, ataupun botol minuman kaleng yang terapung di perairan. Satu per satu sampah berbahan plastik, logam, besi, ataupun tembaga itu dinaikkan ke sampannya.

Tidak seluruh sampah dipungut, melainkan hanya keempat macam bahan itu yang laku dijual. Untuk memenuhi sampan itu biasanya dibutuhkan waktu hingga tengah hari. Setelah terkumpul, Saming membawanya ke tempat pengepul di Abeli. Satu sampan penuh bisa memuat sekitar 10 kilogram sampah.

Sampah plastik dijual Rp 1.500 per kg, besi Rp 2.000-Rp 2.200 per kg, kaleng Rp 5.000 per kg, dan tembaga Rp 40.000 per kg. ”Yang banyak setiap harinya ya plastik. Jarang-jarang bisa dapat besi, kaleng, apalagi tembaga,” ujarnya.

Atas jerih payah dan usaha kerasnya itu, Saming bisa memperoleh Rp 15.000 sekali jalan. Jika masih ada sisa tenaga, Saming melanjutkan lagi memulung pada sore hari setelah mengurus rumput laut.

M Soleh (58), pengepul sampah sekaligus orang pertama yang mulai memulung di laut pada tahun 2005, mengatakan, kebanyakan yang menjalani pekerjaan ini sekarang adalah perempuan tua seperti Saming yang harus menghidupi diri sendiri. Anak-anak muda malu, sedangkan pria lebih senang melaut mencari ikan.

Soleh setiap hari menampung hasil dari 6-7 perahu pemulung. Seluruh sampah berharga itu dikumpulkan dan dipilah-pilah, lalu dikirim lagi ke pengepul besar setiap tiga minggu sekali. ”Sekali kirim berkisar 500-800 kg,” katanya.

Ia menambahkan, sampah biasanya banyak muncul di teluk setelah hujan lebat turun. ”Jika air surut, sampah tidak begitu banyak,” ujar Soleh.

Membuat miris

Dihubungi terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara Hartono mengatakan, di satu sisi, apa yang dilakukan para pemulung laut itu telah turut membantu mengurangi permasalahan sampah di Teluk Kendari.

Namun di sisi lain, ia juga merasa miris dengan kenyataan bahwa sudah sedemikian besarnya masalah lingkungan hidup di teluk sehingga memunculkan fenomena pemulung laut tersebut.

Dari data Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Tenggara, diperkirakan endapan di Teluk Kendari saat ini telah mencapai 54 juta meter kubik atau 77 persen dari kapasitas tampung maksimal teluk. Jika endapan ini tak tertangani, Dinas Pekerjaan Umum memperhitungkan dalam 10 tahun mendatang teluk akan penuh tertutup sedimen.

Endapan setara dengan muatan sekitar 10 juta truk pasir itu sebagian besar disumbang sedimentasi alami dari 32 sungai yang bermuara di teluk. Namun, limbah rumah tangga dan berbagai macam sampah tak bisa disangkal juga turut menyumbang kerusakan.

”Masalah besar ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, bukan hanya pemerintah kota, tetapi juga pemerintah provinsi dan diatasi secara lintas sektoral,” ujar Hartono.

Namun, bagi Saming dan Soleh, sampah-sampah itu nyatanya telah menjadi berkah tersendiri. Berkah yang membantu mereka untuk bisa sekadar bertahan dari getirnya kemiskinan.

(Mohamad Final Daeng)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com