Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Tangse, Ironi Pascamoratorium

Kompas.com - 17/03/2011, 04:04 WIB

” Banjir ini terjadi karena pembalakan liar. Catat itu,” tegas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, kepada wartawan saat mengunjungi lokasi banjir bandang di Kecamatan Tangse, Pidie, NAD, pekan lalu.

Ini ironis. Banjir yang merenggut korban sembilan jiwa dan kerugian hampir Rp 1 triliun itu justru terjadi setelah hampir empat tahun moratorium penebangan hutan ditandatangani. Tragedi Tangse seolah menunjukkan moratorium itu masih sekadar pepesan kosong.

Suryani (31), terduduk lesu di atas tikar pengungsian sebuah meunasah tua di Desa Blang Dhot, Kecamatan Tangse, Jumat (11/3). Lidahnya kelu. Benaknya masih tercekam peristiwa satu malam sebelumnya. Deru air banjir bandang dan empasan longsor Tangse merenggut nyawa tiga anak, suami, dan mertuanya. ”Dia masih sedih, jangan diganggu dulu, Bang” bisik Usman Ali (35), kakak Suryani, saat Kompas mencoba mendekat.

Usman lalu bertutur, Kamis (10/3) malam, usai shalat maghrib, tiba-tiba air Sungai Tangse meluap dengan suara menderu. Sekitar pukul 20.00, luapan air penuh lumpur, batu, dan berkubik-kubik kayu gelondongan menghampiri teras rumah Usman dan Suryani yang bersebelahan. ”Saya dan 14 orang tetangga lainnya, termasuk Suryani, suaminya, tiga anak, dan mertuanya lari ke bukit di belakang rumah,” tutur Usman.

Naas, hujan deras yang turun malam itu merontokkan tanah di atas bukit. Mereka terjebak. Tiga anak Suryani, suami, dan ayah mertuanya, pun tertimbun longsor.

Duka Suryani hanya sepenggal kisah sedih dari tragedi banjir bandang Tangse yang menerjang 11 desa itu. Sembilan orang tewas, tiga lainnya belum ditemukan. Delapan jembatan putus, jalan sepanjang 6 kilometer hancur, dua bendungan jebol, dua sekolah rusak, 751 rumah rusak, dan 311 unit di antaranya hilang. Sekitar 3.016 keluarga mengungsi.

Inilah banjir terbesar di Sungai Tangse yang diketahui warga setempat. Tahun 1990 sungai ini pernah banjir, namun tak sebesar Kamis malam pekan lalu.

Pembalakan Liar

Para pejabat daerah yang hadir di lokasi tak bisa menyangkal lagi, pembalakan liarlah penyebab banjir bandang ini. Fakta menunjukkan, ribuan meter kubik kayu gelondongan terhampar di sepanjang alur banjir. Pada ujung batang kayu itu masih terlihat bekas gergajian dengan diameter 10 cm-75 cm.

Tumpukan kayu bersama lumpur dan bebatuan menutup jalur jalan sepanjang enam kilometer dari Desa Ranto Panyang ke Desa Blang Pandak (hulu Sungai Tangse). ”Ini jelas karena pembalakan liar. Kita semua dapat melihat itu di lokasi,” kata Bupati Pidie, Mirza Ismail.

Di kawasan hutan Gunung Halimon, bagian deretan Pegunungan Bukit Barisan, yang sekaligus hulu Sungai Tangse, perambahan hutan tampak nyata. Beberapa sisi hutan terbuka. Di atas hamparan tersisa pokok pangkal pohon merana. Bahkan, di perbukitan sepanjang hulu Sungai Tangse tegakan hutan yang mulai jarang di tengah hijau tanaman perkebunan kopi dan kakao. Di beberapa sisi tampak menghampar tanaman padi yang hancur diterjang banjir.

Pembalakan dan alih fungsi lahan bukan rahasia lagi bagi warga setempat. Mereka mengetahui itu. ”Sejak dulu seperti ini. Ada yang motong kayu lalu dijual, ada juga yang memotong sebagian untuk ditanami,” kata Sulaiman Kai (60), warga Desa Ranto Panyang.

Pembalakan liar itu nyaris berjalan mulus. Sesekali ada razia aparat kepolisian. Namun, itu tak menghentikan kegiatan pembalakan karena sering kali berakhir damai.

Selama ini, nyaris tak ada penindakan terhadap toke yang menawari dan menampung kayu curian. Aparat seolah tutup mata dengan kegiatan kilang-kilang kayu yang banyak tersebar di Pidie.

”Selama ini yang disalahkan selalu masyarakat. Tapi perusahaan tak pernah ditindak,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Aceh, TM Zulfikar.

Tragedi di Tangse sebenarnya hanya sepotong wajah buruk pengelolaan hutan di Aceh. Bahkan, moratorium penebangan hutan pada tahun 2007 di Aceh, seperti nyaris tanpa gaung. Walhi mencatat, tahun 1980-2008, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar. Artinya, 32.657 hektar hutan dibabat tiap tahun. Tahun 2008, luas hutan Aceh tinggal 61,42 persen.

Hasil penelitian Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) pada tahun 2009, menyebutkan kehilangan hutan di Aceh rata-rata 0,9 persen per tahun. Bahkan, deforestasi telah menurunkan jumlah air dalam tanah di hutan hingga 50 persen di Aceh. Sekitar 3,5 tahun silam juga terjadi banjir bandang di Aceh Tamiang, serta banjir sekala kecil di wilayah Subussalam, Singkil, Meulaboh, Nagan Raya, dan Aceh Tengah. (M Burhanudin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com