Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usia 10 Tahun, Bobot Irwansyah Cuma 7 Kg

Kompas.com - 15/01/2011, 10:35 WIB

MEDAN, KOMPAS.com- Irwansyah memang berbeda dari anak normal seusianya lantaran mengidap penyakit sindrom down yang juga dikenal sebagai penderita mongolism. Nama mongolism dilekatkan pada penderita sindrom down, karena wajah penderita penyakit ini akan berubah menjadi mirip warga Mongolia.

Kepala Puskesmas Medan Tembung, Erwin H Lubis mengaku sudah lima tahun merawat Irwansyah. Awalnya, Irwansyah diduga menderita gizi buruk dan dirawat bersama enam penderita gizi buruk lainnya. Tapi tidak peningkatan kesehatan yang signifikan.

'Setelah dilakukan pemeriksaan mendalam oleh dokter puskesmas ternyata Irwansyah menderita penyakit mongolism. Dari 6 orang penderita gizi buruk yang kami rawat, hanya Irwansyah yang tidak bisa disembuhkan, padahal susu dan makanan sehat sudah diberikan,' ujarnya, Kamis (13/1/2011) lalu.

Penyakit sindrom down adalah penyakit kelainan kromosom yang langka, diprediksi menyerang 1 bayi diantara 700 bayi yang baru lahir. Penderita sindrom down akan memiliki jumlah sel-sel kromosom tubuh yang lebih banyak dari pada manusia normal, hal ini menyebabkan penderita mengalami cacat mental serta memiliki bentuk wajah yang khas.

Yusrizal (41) orangtua Irwansyah mengatakan, pada saat lahir kondisi anaknya sehat dan tidak ada ciri-ciri yang mengkhawatirkan. Tetapi pada saat berumur lima bulan kondisi fisiknya berubah menjadi kecil dan berat badannya menurun.

'Penyakit ini diderita Irwansyah pada saat kami pindah ke Medan,' katanya. Ia mengaku tidak bisa membawa anaknya berobat ke dokter dan rumah sakit karena kondisi ekonominya pas pasan, malah tidak mencukupi.

Penghasilannya per bulan Rp 800.00, sementara anak yang harus diberi makan lima orang. Saat ini saja, anak keduanya harus berhenti dari sekolah lantaran tidak bisa membayar uang sekolah.

"Saya sangat sedih dengan kondisi Irwansyah saat ini. Hingga sekarang tidak ada peningkatan yang dialami walaupun sudah diberikan susu penambah berat badan. Saya hanya bekerja sebagai teknisi AC, gajinya tidak cukup untuk membiayai pengobatan," katanya.

Ia mengatakan, pihak kecamatan melalui puskesmas sudah memberikan perawatan, tetapi tidak ada hasil yang signifikan dalam peningkatan kesehatannya. Pihak puskesmas biasanya memberikan tiga hingga empat kotak susu sebulan, tetapi terhenti pada Juli lalu.

Yusrizal mengaku sudah melakukan pengibatan alternatif, tapi kondisinya tidak juga berubah. Malah dia pernah tertipu oleh orang yang mengaku bisa mengobati dengan meminta banyak permintaan seperti ayam kampung seekor, pulut putih dan lainnya. Dokter Erwin mengatakan untuk menyembuhkan penyakit Irwansyah harus dilakukan cangkok hati. 'Padahal lagi anak Yusrizal sudah terkena gizi buruk,' katanya.

Penyakit sindrom down baru diketahui pada tahun 1960. Penyakit ini dapat dideteksi pada masa kehamilan ibu dengan cara pengambilan contoh air ketuban. Penderita sindrom down akan memiliki bentuk wajah yang khas, mata miring ke atas dan terpisah jauh, bentuk hidung cenderung rata dan bertelinga kecil.

Lidah akan lebih menonjol di antara bibirnya dan terdapat garis lipatan tunggal pada telapak tangannya. Penderita sindrom down biasanya mengalami cacat mental dengan derajat yang berbeda-beda dan memiliki keterbatasan dalam kemampuan belajar.

Lebih dari seperempat penderita sindrom down juga mengidap penyakit jantung bawaan, menderita peyempitan usus, kelainan pendengaran bawaan, leukimia akut dan katarak. Penderita sindrom down juga sangat rentan terkena penyakit infeksi telinga dan infeksi pernafasan.

Harapan hidup pada penderita sindrom down diusia muda sangat rendah, hal ini dikarenakan kerentanan terhadap risiko infeksi dan penyakit yang biasanya menyertai penderita sindrom down tersebut. (Tribun Medan/Irwansyah Putra Nasution)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com