Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putra Daerah dan Aristokrasi Politik

Kompas.com - 29/10/2010, 03:12 WIB

Provinsi Lampung memiliki kondisi geopolitik unik, dikenal sebagai daerah transmigrasi terbesar di Tanah Air selama berpuluh-puluh tahun. Ini mengakibatkan kuatnya tarikan politik antara pribumi dan warga pendatang, khususnya Jawa.

Tarikan itu kian menguat pada era reformasi dan otonomi daerah, mulai dari percaturan pengurus partai, pertarungan gubernur dan bupati/wali kota, hingga ke urusan aparatur pemerintahan daerah.

Dikenal sebagai ”miniatur” Indonesia, komposisi penduduk di Provinsi Lampung sangatlah heterogen. Dari 7,6 juta penduduknya saat ini, populasi suku Jawa masih sangat mendominasi, yaitu hingga 61 persen, lalu diikuti suku Sunda sekitar 11 persen. Sementara penduduk asli (Lampung) hanya 25 persen.

Kuatnya dominasi masyarakat Jawa membuat Lampung kerap dijuluki ”Jawa Utara”. Mulai dari nama daerah hingga jalan sangat kental dengan nuansa Jawa. Begitu pula dengan pemimpin daerahnya. Berpuluh-puluh tahun Lampung dikuasai pemimpin berlatar belakang etnis Jawa.

Kondisi mulai berubah pada era reformasi dan otonomi daerah. Putra-putra daerah mulai berani tampil seiring semangat membangun daerahnya sendiri. Putra daerah macam Alzier Dianis Thabrani, lalu Sjachroedin ZP, tampil mendominasi percaturan politik di Lampung.

Pada masa Sjachroedin ZP menjadi gubernur sejak 2004, banyak perubahan besar yang dilakukan terkait dikotomi pribumi dan nonpribumi. Sjachroedin yang dikelilingi orang-orang berdarah Jawa di dekatnya, seperti istri dan wakilnya, yaitu Joko Umar Said, melakukan gebrakan besar, antara lain mengubah simbol-simbol pemerintahan yang semula bernuansa Jawa kini lebih menapak ke Sang Bumi Ruwai Jurai (Lampung).

Nama rumah dinas gubernur yang dulu dinamai pendapa diubah menjadi Mahan Agung. Begitu pula ruang-ruang kantor sekretariat Pemerintah Provinsi Lampung lainnya, namanya diganti dengan nuansa Lampung. Putra daerah juga lebih berkesempatan berkarier sebagai pejabat di pemerintahan.

Dengan kondisi geopolitik semacam itu, partai-partai bernuansa nasionalis lebih mendapat tempat dalam masyarakat Lampung. Hasil pemilu di Lampung menjadi barometer hasil di nasional. Ini setidaknya dibuktikan sejak 1999. Partai yang menang di Lampung juga akan menang secara nasional.

Dalam percaturan politik di kabupaten/kota, tarikan antara putra daerah dan etnis pendatang terlihat sangat kuat. Pemilu kepala daerah (pilkada) 30 Juni 2010 yang dilangsungkan serentak di lima kabupaten/kota di Lampung membuktikannya. Kombinasi Jawa-Lampung hampir selalu muncul.

Sampai-sampai, karakteristik geopolitik suatu daerah di Lampung bisa direpresentasikan dari kepala daerah yang memenangi pilkada. Di Kota Metro yang mayoritas penduduknya beretnis Jawa, misalnya, pilkada dimenangi Lukman Hakim dan Saleh Chandra yang berdarah Jawa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com