Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gejala Erupsi Merapi Eksplosif

Kompas.com - 26/10/2010, 11:48 WIB

Sleman, Kompas - Erupsi Merapi yang statusnya sejak Senin (25/10) pukul 06.00 dinaikkan dari "siaga" menjadi awas diperkirakan bersifat eksplosif dengan pola letusan menyemburkan material ke berbagai arah. Belum terbentuknya kubah lava yang menjadi ciri erupsi efusif sementara aktivitas Merapi begitu tinggi memperkuat perkiraan ini.

"Karena itu, saat ini jangan terpaku pada pengamanan satu arah saja, melainkan seluruh area di sekeliling Merapi," kata ahli vulkanologi Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno.

Erupsi eksplosif terakhir Merapi, ujar Eko, terjadi tahun 1930. Saat itu, letusan besar terjadi hingga membawa korban 1.367 orang. Sejak saat itu, erupsi Merapi cenderung bersifat efusif dengan karakteristik aliran lava dan awan panas piroklastik, atau yang populer disebut wedhus gembel, yang mengarah ke satu arah saja.

Tujuh sungai

Terkait peningkatan status menjadi awas, sekitar 40.000 warga di kawasan rawan bencana III (radius 10 kilometer) sekeliling Merapi mulai diungsikan. Mereka berasal dari 12 desa yang tersebar di Sleman (tujuh desa), Magelang (dua desa) dan Klaten (tiga desa). Evakuasi dilakukan di sisi selatan dan barat daya Merapi yang menjadi sisi deformasi (penggembungan) dan guguran material lava.

Jika erupsi terjadi, diperkirakan lava mengalir ke tujuh kali yang berhulu ke Merapi di wilayah itu, yakni Kali Bebeng, Krasak, Bedog, Boyong, Kuning, Gendol, dan Woro.

Di Yogyakarta, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Surono mengatakan, status dari siaga ke awas didasarkan data visual dan instrumental selama empat hari yang meningkat tajam.

Sebelum 21 Oktober, saat status dinaikkan dari waspada menjadi siaga, jumlah guguran material di bawah 100 kali per hari. Namun, sejak 23 Oktober, guguran mencapai di atas 180 kali per hari. Deformasi puncak hingga 21 Oktober hanya 10,5 sentimeter per hari kini mencapai 42 cm per hari. Kondisi itu menunjukkan magma dari perut gunung sudah semakin mendekati puncak.

"Dari segi energi kegempaan, hal ini sudah jauh melampaui saat erupsi 2006 sehingga tidak ada alasan untuk tidak menetapkan status menjadi awas," kata Surono.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Subandriyo menambahkan, laju deformasi terfokus di sekitar kubah lava erupsi tahun 1911. Kubah itu rapuh karena usianya mencapai 100 tahun. "Namun, kami belum tahu erupsi akan bersifat eksplosif (letusan) atau efusif (aliran). Masih 50 : 50," ujarnya. "Mboten watuk"

Meningkatnya status Merapi membuat kawasan wisata Kaliurang, Kaliadem, Kalikuning, dan Taman Nasional Gunung Merapi ditutup. Kepala Seksi Informasi dan Dokumentasi Wisata Pemkab Sleman Wasita mengatakan, obyek-obyek wisata itu ditutup sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Obyek wisata kembali dibuka ketika Gunung Merapi dianggap aman untuk dikunjungi wisatawan.

Peningkatan status ini tidak mengubah aktivitas harian Mbah Marijan, juru kunci Merapi. Mbah Marijan mengaku masih kerasan tinggal di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, yang berjarak sekitar 4 km dari puncak Merapi. Ia banyak berharap dan berdoa.

"Merapi mugi-mugi mboten watuk. Padarane mugi-mugi sekeca, lajeng sae. Mangga sami-sami ndonga kangge kawilujenganipun masyarakat. Mugi-mugi Ngayogyakarta kepareng wilujeng. Menawi watuk, nggih saget leres," katanya. (IRE/PRA/ENG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com