Keluarga besar SMP Negeri 2 Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, sedang dirundung musibah. Hanya dalam dua pekan, dua siswi sekolah tersebut meninggal akibat gantung diri.
Kasus gantung diri yang pertama dilakukan Elsa Mayora (12), siswi kelas VII, sekitar dua minggu lalu. Polsek Lawang Kidul yang menangani kasus tersebut menyimpulkan kematian korban murni bunuh diri.
”Sebelum bunuh diri, sikap korban berubah. Namun, keluarga Elsa tidak tahu persoalan yang dihadapi korban,” kata Kepala Polsek Lawang Kidul Ajun Komisaris Nusirwan, Jumat (27/8).
Adapun korban kedua, yaitu Wela Septiandini (12), juga siswi kelas VII, ditemukan sudah tak bernyawa pada hari Sabtu, 21 Agustus, di rumahnya.
Menurut Nusirwan, Wela bunuh diri dengan melilitkan dasi seragam sekolahnya di lehernya, sedangkan ujung dasi yang lain diikatkan ke lemari.
Saat ditemukan, tubuh Wela sudah lemas, tetapi masih hangat. Artinya, ia belum lama meregang nyawa. Keluarga Wela sempat melarikan Wela ke rumah sakit PT Bukit Asam, tetapi nyawanya tidak bisa tertolong.
”Korban bunuh diri setelah cekcok dengan saudaranya karena berebut
Berdasar catatan
Psikolog rumah sakit RK Charitas, Palembang, Bambang Sumarto mengungkapkan, fenomena bunuh diri bisa dilakukan oleh segala usia, termasuk oleh anak ”bau kencur” seperti Elsa dan Wela. Keputusan melakukan bunuh diri bisa muncul tiba-tiba, tidak perlu direncanakan lebih dulu.
”Perilaku bunuh diri menunjukkan korban punya masalah seperti sakit, utang, atau kemiskinan, tetapi tidak menemukan jalan keluar. Korban sebenarnya butuh pertolongan untuk keluar dari masalahnya,” ujar Bambang.
Bambang mengutarakan, orang yang melakukan bunuh diri menganggap kematian sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalahnya.
Agama juga berperan mencegah bunuh diri. Kata Bambang, ”Agama mengajarkan orang agar menerima bahwa hidup adalah takdir. Tapi takdir bisa diubah dengan kerja keras”.