JAKARTA, KOMPAS.com — Kompas
Dia membaca Kompas sejak tahun 1965 ketika jumlah halaman masih empat dan tulisannya masih buram. Saat itu, dia belum berlangganan, tetapi membelinya secara eceran dari kios. Selain Kompas, ia membaca sejumlah media dengan tujuan memperluas pengetahuan. Pengetahuan yang luas dibutuhkan karena saat itu dia menjadi aktivis Partai Nasional Indonesia dan masih menjadi mahasiswa di Universitas Nasional, Jakarta.
Pada tahun 1970-an, dia pindah ke Medan dan baru tahun 1980-an, Fajar berlangganan Kompas. Saat itu dia juga berlangganan dan membeli koran lainnya. Banyaknya koran yang dibaca itu untuk memperkaya referensi sekaligus membaca situasi politik saat itu.
Dia memutuskan berlangganan Kompas karena isinya mencerahkan. Setelah membaca koran, artikel yang menarik, terutama tentang politik dan ekonomi, dia menggunting dan mengkliping hari itu juga. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang. ”Kekuatan Kompas yang membuat saya tertarik adalah karena tidak beropini. Opini diserahkan kepada pembaca melalui kolom khusus,” kata Fajar di Medan.
Penulis opini di Kompas pun bukan sembarang orang. Dia tertarik dengan tulisan dua penulis opini di Kompas, yakni YB Mangunwijaya dan MAW Brouwer. Menurut Fajar, tulisan kedua orang itu sangat bermutu.
Setelah tak lagi menjadi eksportir. Fajar kemudian lebih banyak menulis dan berbicara di seminar dan pertemuan. Dia menggeluti dunia tulis-menulis sambil terus mempertahankan kebiasaannya membaca. Dari kebiasaan membaca itu dia tertarik untuk menulis. Saat ini telah banyak buku bertema ekonomi dan politik telah ditulis. Dia juga menjadi penulis tetap di sebuah harian lokal ternama di Sumut. ”Kompas membantu saya dalam mencari ide tulisan,” katanya.
Bagi Fajar, kebiasaannya membaca, terutama membaca Kompas, tidak pernah secara khusus diajarkan kepada ketiga anaknya. ”Mungkin karena sering melihat saya membaca, akhirnya ketiga anak saya ikut rajin membaca dan berlangganan Kompas,” ujarnya.
Fajar menceritakan, sejak duduk di bangku sekolah dasar, kebiasaan membacanya terbilang tinggi dibandingkan dengan teman-temannya. Dia kerap berada di warung kopi untuk membaca koran yang biasanya dibaca pembeli. Dia juga meminta salah satu teman sekelasnya untuk membawa koran milik ayahnya ke sekolah. Kebetulan, ayah dari teman Fajar itu seorang kepala sekolah. Hal yang sama juga dia perlakukan kepada temannya yang ayahnya seorang asisten kebun dan berlangganan koran Mimbar Umum. ”Jadi, koran kemarin saya baca hari ini,” ujarnya.