JAKARTA, KOMPAS.com - Begitu akrabnya Kompas bagi keluarga Bakdi Soemanto (68) yang tinggal di Deresan, Sleman, DI Yogyakarta. Setiap kali berkunjung ke rumah putri bungsunya yang tinggal terpisah, budayawan itu membawakan Kompas sebagai oleh-oleh.
Bukannya tak mampu membawa oleh-oleh lebih mahal. Bagi Bakdi, mengetahui informasi dan berita dari sumber yang bisa dipercaya merupakan keharusan. ”Kebetulan anak saya ini tidak berlangganan koran sejak tinggal di rumah sendiri. Jadi, saya bawakan Kompas supaya tetap tahu apa yang terjadi di seluruh Indonesia,” tutur Bakdi.
Puluhan tahun berlangganan, kehidupan keluarga Bakdi memang tidak bisa lepas dari Kompas. Pensiunan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang masih aktif mengajar itu berlangganan Kompas sejak awal terbit, 28 Juni 1965. Sejak Kompas terdiri satu lembar hingga rata-rata terbit 32 halaman.
Perkenalannya dengan Kompas bermula dari rekannya, Sudibyakto, adik WS Rendra, yang menjadi wartawan Kompas. Dia makin sering membaca Kompas saat berita dan aktivitas seni dan budaya menjadi bahan tulisan.
Bakdi menemukan kepuasan setelah membaca Kompas. Melalui Kompas, dia bisa meneropong pemikiran yang berkembang di Indonesia. ”Banyak pemikir yang memilih Kompas untuk menuangkan visi dan pemikirannya. Kompas juga menjadi barometer sastra di Indonesia melalui lembar cerita pendek dan puisinya,” ujarnya.
Bakdi pun pernah mewarnai lembar Kompas dengan cerita bersambung karyanya berjudul Kalung Tanda Silang ataupun berupa tulisan-tulisan mengenai budaya.
Dari sisi pemberitaan, Kompas hingga saat ini masih menjadi pedomannya untuk memperoleh informasi akurat dan netral. Akurasi dan netralitas itu mampu menepis simpang siur pemberitaan media yang makin bebas seperti sekarang ini.
Bakdi berharap, Kompas tetap menjadi pedoman dengan menjaga kredibilitas dan kualitas pemberitaan. Ia berharap Kompas tetap netral, tetap menjaga kejernihan berita, dan tidak turut arus kesimpangsiuran isu pemberitaan yang saat ini mengemuka. ”Saya berharap Kompas bisa berkembang seperti harian Le Monde di Perancis yang menjadi acuan kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Satu kritik disampaikan Bakdi adalah soal terbatasnya ruang penulisan pemikiran di Kompas. ”Tulisan orang luar kerap ditolak kalau satu acara sudah ditulis wartawannya. Padahal, topik penulisan sangat berbeda meskipun dari satu acara yang sama. Seharusnya bisa memperkaya pemberitaan,” katanya.
Selama hampir 45 tahun menjadi pembaca setia, Bakdi masih mewarnai hari-harinya dengan Kompas di meja makan keluarganya. Harapan dan kepercayaan itu masih akan terajut lebih panjang.