Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Matinya Hukum dan Keadilan di Maluku

Kompas.com - 12/05/2010, 13:21 WIB

AMBON, KOMPAS.com - Wartawan se-Kota Ambon kembali berdemo di Kantor Pengadilan Negeri (PN) setempat, Rabu siang, sambil menabur dan meletakkan karangan bunga di halaman kantor itu sebagai pertanda matinya hukum dan keadilan di Maluku.

Demo tersebut sebagai bentuk kekecewaan kalangan pers atas ditetapkannya Jufry Samanery, koresponden SCTV, korban pengeroyokan para pegawai PN Ambon sebagai tersangka.

Pendemo mempertanyakan status Jufry Samanery yang menjadi tersangka tanpa ada proses pemeriksaan. Padahal dia adalah korban penganiayaan beberapa pegawai PN Ambon saat menjalankan tugas jurnalistiknya.

"Kenapa Jufry Samanery harus dijadikan tersangka padahal dia adalah korban. Ini adalah pemutarbalikan fakta dari orang-orang yang mengaku dirinya penegak keadilan," kata seorang pendemo, Ivan Hehanussa.

Dia lantas menyerukan kepada semua wartawan untuk meneruskan perjuangan, tetap berdemo hingga ada tindakan hukum terhadap Ketua PN Ambon Ewit Soetriadi dan Kepolres Pulau Ambon dan Pulau Pulau Lease AKBP Didik Widjanarko.

"Bila perlu hakim Teuku Oyong dan Ketua PN Ambon Ewit Soetriadi dicopot dari jabatannya karena telah memutarbalikkan fakta sehingga menjadikan Jurfy tersangka," teriak pendemo.

Usai berorasi, Ivan Hehanussa mengambil karangan bunga yang diletakkan di halaman Kantor PN Ambon dan berjalan ke luar menuju perempatan jalan di depan kantor itu, berdekatan dengan Kantor Polsek Sirimau dan monumen gong perdamaian dunia.

Karangan bunga itu kemudian diletakkan di perempatan jalan tersebut dengan maksud agar masyarakat Maluku mengetahui bahwa hukum di daerah ini telah mati.

Demo di Kantor PN Ambon pada hari ini merupakan aksi para wartawan se-Kota Ambon yang ketiga kalinya.

Sebelumnya pada Jumat (7/5) dan Senin (10/5), aksi serupa juga dilakukan di lokasi yang sama sebagai buntut dari pemukulan dan pengeroyokan yang dilakukan pegawai Pengadilan Negeri Ambon terhadap Jufry Samanery.

Peristiwa pemukulan itu bermula ketika seorang wartawan media cetak lokal Lotje Pattipawae dilarang mengambil gambar oleh Hakim Teuku Oyong dalam persidangan praperadilan mantan Wakil Bupati Maluku Tenggara Barat (MTB) Lukas Uwuratuw melawan Kejati Maluku, Jumat (7/5).

"Hakim Teuku Oyong melarang saya mengambil gambar. Sambil mengangkat KUHP, ia mengatakan bahwa Undang Undang tahun 1981 melarang pengambilan gambar dalam persidangan," kata Lotje Pattipawae saat itu.

Usai sidang, Pattipawae dan beberapa wartawan termasuk Jufry Samanery menanyakan hal pelarangan itu kepada Teuku Oyong.

Ketika Samanery mengajukan pertanyaan kepada Teuku Oyong, beberapa pegawai PN Ambon marah dan mengejar wartawan SCTV itu sambil memukulinya.

Samanery yang menderita luka-luka di wajah dan kepalanya serta lebam-lebam di tubuhnya akibat tindakan yang dilakukan para pegawai Pegadilan Negeri Ambon itu kemudian melarikan diri ke Polsek Sirimau melaporkan peristiwa yang dialaminya.

Saat ini dia masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Sumber Hidup atas luka-luka dan lebam yang dideritanya itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com