Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PLTMH Kalimaron, Upaya Memerdekakan Warga

Kompas.com - 01/04/2010, 04:23 WIB

Perempuan yang panen jagung membantu kerja daur ulang itu sebagai sambilan. Sebagian juga punya usaha yang sama. ”Kalau ada order, biasanya dibagi rata. Hasilnya untuk modal lagi dan ditabung,” kata Jayanti.

Usaha itu awalnya memang membidik anak-anak perempuan yang tak punya aktivitas, kecuali menonton televisi seharian. Kertas bekas sebagian didapat dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman dengan harga separuh lebih rendah. PPLH kemudian memesan kertas daur ulang untuk pembuatan sertifikat, buku, dan lain-lain kepada warga dengan harga pasar.

Proses panjang

Selama puluhan tahun sebelum tahun 1993, Dusun Janjing, Dusun Biting, Dusun Balekambang, dan Dusun Sempur tak kenal listrik. Pergerakan ekonomi merangkak amat pelan. Tak ada kemajuan berarti terkait pembangunan manusia.

”Rata-rata setiap keluarga punya anak lima sampai enam,” ujar Asiyah dari Dusun Balekambang. ”Setelah ada listrik, rata-rata jumlah anak hanya dua, hanya beberapa punya tiga anak.”

Dulu, di Dusun Janjing, anak- anak paling hanya lulus sekolah dasar. ”Seperti saya,” ujar Ma’sum (42), ayah dua anak yang sulungnya duduk di kelas III SMA.

Letak desa cukup terpencil— meski hanya 2 kilometer dari jalan umum—karena harus menuruni lembah dan menyeberangi sungai kecil yang arusnya deras, khususnya pada musim hujan. Pernah seorang anak tersapu air ketika menyeberang. Karena listrik tak ada, arus informasi dari luar juga tersendat.

Pada tahun 1993 PLN akhirnya juga masuk ke wilayah Desa Seloliman, tetapi hanya mencakup Dusun Balekambang, Biting, dan sebagian Sempur. ”Dusun Janjing sama sekali tak terlistriki sehingga warga merasa ditinggalkan,” kenang Suroso, Ketua Pembina Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman.

Atas inisiatif warga dan difasilitasi PPLH dengan mengorganisasikan warga, lahirlah PLTMH Kalimaron Seloliman, diresmikan bulan Agustus 1994. PLTMH berdaya 12 kWh itu digunakan melistriki seluruh Desa Janjing dan bagian dari dusun lain yang belum mendapat listrik dari PLN. Sebagian lagi untuk keperluan listrik PPLH yang beroperasi dengan petromaks sejak tahun 1988. Biayanya sebagian berasal dari warga, sedangkan sebagian lagi dibantu Kedutaan Besar Jerman.

”Bagi kami, PLTMH bukan tujuan, tetapi pintu masuk menyelamatkan sumber air dan hutan,” sambung Suroso yang menjadi Direktur PPLH tahun 2000-2007.

Untuk 1 kWh, setidaknya membutuhkan satu pohon di hutan untuk menyimpan air.

”Kesadaran warga dibangun dengan melihat dan merasakan manfaatnya. Kalau hutan tidak dijaga, sumber air berkurang dan pembangkit listrik tidak bisa jalan,” ujarnya.

Seperti selalu diingatkan Tri Mumpuni dari Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan yang bersama timnya sudah melistriki sekitar 6.000 desa, agar PLTMH mampu berfungsi sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Itu berarti tidak boleh ada penebangan hutan atau penggundulan vegetasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com