Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ado Harimau di Kepalo Musi

Kompas.com - 09/03/2010, 15:51 WIB

 Laporan wartawan KOMPAS Haryo Damardono

CURUP, KOMPAS.com -  “Kepalo” atau mata air Musi, di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu; lebih beruntung daripada mata air sungai lain. Meski tak dikeramatkan—seperti halnya mata air Bengawan Solo di Wonogiri, Jawa Tengah, “kepalo” Musi tetap terjaga. Sebab Taman Nasional Kerinci Seblat telah menjaga mata air itu, berikut hutan di hulu Musi.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), merupakan taman nasional terbesar di Sumatera, dengan luas 13.750 kilometer persegi. Sebegitu luasnya sehingga membentang di empat provinsi, yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

Adapun mata air Musi, ada di TNKS dalam wilayah Bengkulu. Tepatnya, dalam lingkup pengawasan Kantor Bidang Pengelolaan Wilayah III TNKS Bengkulu-Sumatera Selatan, yang berkantor di Kota Curup, ibukota Rejang Lebong.

“Saya terbiasa berpatroli di wilayah Bukit Kelam. Di lereng-lereng terjal bukit itu, saya menduga terdapat mata air Musi,” kata Kepala Resort Bukit Kelam, Sutotok. Dia bersama tiga anak buahnya, memang bertugas menjaga TNKS di Bukit Kelam dan sekitarnya.]

Sutotok, tak pernah melihat mata air Musi. Tugasnya, hanya berpatroli menjaga kawasan TNKS dari penjarahan kayu oleh warga. “Kalau melintasi kawasan hulu Musi, sudah sering saya lakukan. Tapi, saya tak tahu dimana tepatnya mata air Sungai Musi. Saya tak punya kepentingan,” kata dia, yang sudah  20 tahun  menjaga hutan TNKS.

Ancaman Harimau

Warga Desa Cawang Baru, yang ditemui Tim Jelajah Musi 2010 mengakui, “kepalo” Musi ada di Bukit Kelam di areal TNKS. Di atas kertas, jarak dari Cawang Baru hingga Bukit Kelam sekitar 10 kilometer, namun kata Hori, pemuda setempat, baru dapat ditempuh paling cepat dalam 12 jam berjalan kaki dari jalan desa terakhir.

Dari Cawang Baru, kami menyusuri jalan desa di sisi utara Lembang Musi. Di kanan-kiri terdapat kebon-kebon kopi yang tak dirawat. Jauh di atas lembah Musi, jalan itu pun terputus. Kami pun kembali, apalagi senja telah jauh terlampaui.

Warga di tepian Musi, terutama yang berusia di atas 40 tahun, paham betul jalur-jalur Musi dibawah lebatnya hutan TNKS. Semasa muda, pemuda-pemuda setempat biasanya telah berburu sarang walet, meski potensi walet di TNKS tak terlalu besar.

“Pulang pergi mungkin 2-3 hari. Tak ada jalan setapak di sana, kita harus membuka jalan, menebas semak-belukar,” kata Hori. Bukan lamanya perjalanan, terjalnya lereng hingga 70 derajat, dan lembah-lembah yang dalam yang jadi perhatian kami.

Tapi keberadaan Harimau Sumatera dan Macan Dahan di TNKS, yang membuat kami gentar. Raja hutan Sumatera itu seolah “hantu” di habitatnya, bergerak seolah tanpa perlu menjejakkan kaki di tanah, hanya dari dahan ke dahan. Mimpi buruk bila bertemu dengannya saat mencari “kepalo” Musi.

Pejarahan Hutan
Meski tak pernah menjangkau mata air Sungai Musi, Sutotok bersikeras, pekerjaan yang dilakukannya adalah menjaga keberlangsungan air Musi. “Kawasan hulu Musi yang berupa hutan lebat itu, diancam oleh penebang liar yang mencari kayu Meranti,” kata dia.

Selama kurun waktu tahun 2007-2009, kata Sutotok, setidaknya ditangkap enam penebang liar karena tertangkap tangan mencuri kayu meranti. Kayu-kayu itu nantinya dijual ke pangkalan-pangkalan kayu untuk dijadikan bahan baku rumah.

Tak ada pagar di seputaran TNKS. Tapi patok-patok penanda batas wilayah, telah dipasang sejak puluhan tahun lalu, dan diketahui warga desa setempat. Tapi penjarahan kayu memang terus berlangsung hingga 2-3 kilometer dari batas TNKS. Lantas, dibawa keluar dari TNKS dengan cara dipanggul dan setelah mencapai jalan desa dibawa dengan motor.

Penjarahan kayu di TNKS, memang tak besar-besaran seperti di Kalimantan yang malah membangun puluhan kilometer jalan logging atau memanfaatkan sungai besar untuk menghanyutkan kayu-kayu gelondongan; tapi tetap ada. Bila efek jera tak ditimpakan ke pencuri, boleh jadi penjarahan skala besar dapat terjadi.

Penghargaan lebih harus disematkan kepada Sutotok dan timnya. Berpatroli selama 3-5 hari dengan peralatan yang minim terus dilakoninya, untuk menjaga hutan TNKS, untuk menjaga “kepalo” Musi. Bayangkan bila hulu Musi hancur, sungai itu makin surut waktu kemarau, sebaliknya makin meluap sampai jauh saat musim hujan tiba.

Namun Sutotok masih juga sering dikecewakan. “Sudah capek-capek menangkap warga penebang liar, eh ternyata hakim tak pernah menjatuhhkan hukuman tak pernah lebih dari dua tahun,” ujar dia…

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com