"Gajah itu lambang kebijaksanaan sehingga bisa memberi wacana kepada Sultan untuk lebih bijaksana dalam memutuskan sesuatu," ujar GBPH Yudhaningrat.
Adik Sultan Hamengku Buwono X itu sedang prihatin. Kandang gajah di Alun-alun Selatan itu tak pernah kosong sejak Keraton Yogyakarta berdiri.
Kepergian dua ekor gajah itu menjadi semacam tonggak penting bahwa simbol-simbol binatang kian menjauh dari lingkaran dalam kehidupan
keraton.
Gajah-gajah keraton sudah meninggalkan Bangsal Gajahan di Alun-alun Selatan. Dua gajah, Nyai Argo dan Kyai Gilang, telah dititipkan di Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka sejak dua bulan terakhir. Dua gajah itu kini bercampur dengan gajah-gajah lain. Kepergian kedua gajah terkait perawatan dan pemeliharaan yang menyedot ongkos. Namun, tak diketahui ongkos yang dibutuhkan selama
ini.
Yang jelas, warga tak bisa lagi membawa anak-anak singgah di Alun-alun Selatan sekadar melihat dua gajah dari kejauhan. Kandang sudah bersih, menyisakan ruang kosong.
Anak pawang gajah keraton, Febri (8), mengaku, Bangsal Gajahan terasa sepi. Febri mulai merindukan sepasang gajah yang biasanya
menjadi teman bermainnya itu. Anak-anak sebayanya tak bisa menunggang gajah di hari Minggu pagi dengan ongkos Rp 3.000 per anak.
Tak hanya gajah, Yudhaningrat yang adalah Manggoloyudho atau Panglima Perang Keraton Yogyakarta itu juga menyayangkan menyusutnya jumlah kuda di lingkungan keraton. Sultan HB X hanya memiliki satu ekor kuda putih. Kuda, menurut Yudhaningrat, merupakan simbol keperkasaan dan kekuatan seorang raja.
Di samping kaya simbol, kehadiran binatang-binatang itu sebenarnya menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Dulu, ketika Alun-alun Selatan masih sepi, gajah-gajah bisa mendongkrak minat masyarakat menengok alun-alun. Kuda juga menjadi pelengkap daya tarik di Istal Keraton, yang terletak berdampingan dengan Museum Kereta.
Simbol melekat
Simbol binatang sejatinya sangat lekat dengan kehidupan manusia Jawa sejak dulu kala. Pada masa Kerajaan Hindu dan Buddha, ragam binatang telah digunakan untuk beragam pemaknaan.
"Kesatuan antara manusia dengan alam semesta bisa diwujudkan dalam kekayaan simbol binatang ini," ujar arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Sofwan Noerwidi, ketika dihubungi.
Patung ganesha yang mengambil wujud kepala gajah, misalnya, merupakan simbol ilmu pengetahuan. Tiap dewa Hindu juga memiliki
wahana atau kendaraan yang semuanya adalah binatang. Dewa Syiwa dengan kendaraan sapi, Dewa Brahma menggunakan angsa, Dewa Wisnu berkendaraan garuda, dan Dewa Indra memiliki kendaraan gajah putih bernama Airawata.
Di dalam ajaran Buddha, binatang juga dianggap sebagai penjelmaan dari Buddha. Pancaran kebaikan Buddha sering kali diejawantahkan dalam bentuk berbagai binatang. Kisah-kisah tentang kebaikan moral pun selalu dilambangkan dengan binatang.
Di Keraton Yogyakarta, sisa-sisa kekayaan lambang binatang masih dapat dilihat pada arsitektur keraton. Dosen Arkeologi UGM,
Sektiadi, pernah meneliti tentang arsitektur di Keraton Yogyakarta dan menemukan kekayaan lambang binatang itu.
Arsitektur bangunan di bagian utara Keraton Yogyakarta didominasi binatang bersayap, sedangkan di bagian selatan lebih banyak gambar naga. Seperti pola zaman Hindu dan Buddha, pahatan tentang gajah terutama diletakkan di dekat tempat-tempat berbahaya, seperti pintu-pintu gerbang.
Secara tradisional, lanjut Sektiadi, manusia mencoba berkomunikasi lewat simbol binatang. Seiring perubahan zaman, manusia cenderung menjauh dari alam. Pudarnya simbol-simbol binatang di Keraton Yogyakarta bisa jadi suatu tanda bahwa zaman terus bergerak
mengikuti alurnya sendiri. (MAWAR KUSUMA)