PALEMBANG, KOMPAS
Ahmad Anshori (40), sopir angkutan kota (angkot) jurusan Ampera-Perumnas, Senin (25/1), mengatakan, selama belum tersedia SPBG di Palembang, maka alat yang disebut
”Lebih baik kami menunda memasang alat itu di mobil sebab dari mana kami mendapatkan gas untuk bahan bakar kendaraan?” kata Ahmad yang sudah 10 tahun menjadi sopir angkot.
Sopir angkot lain, Rudi (35), mengaku sudah mendengar akan ada pembangunan SPBG di sekitar Jalan Demang Lebar Daun. Namun, jalan itu berada cukup jauh dari pusat kota Palembang, sekitar 2-3 kilometer ke utara.
Kendala jarak ini, lanjut Rudi, menyulitkan sopir angkot. Mereka harus bolak-balik mengisi bahan bakar gas.
Akhir pekan lalu, Dinas Perhubungan Kota Palembang
Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hadi Jatmiko menilai program pemasangan CNG pada angkot terkesan dipaksakan. Kenyataannya SPBG belum selesai dibangun. Hadi juga mempertanyakan kemampuan alat pengisi gas di SPBG.
”Alat itu harus diukur, apakah tekanan pengisiannya cukup besar atau tidak. Sebab, seperti yang kami amati di Jakarta, pengisian bahan bakar gas membutuhkan waktu lebih dari 20 menit per kendaraan,” kata Hadi.
Namun, Kepala Dinas Perhubungan Kota Palembang Edi Nursalam yakin pemasangan CNG tak akan bermasalah. Angkot yang sudah dipasang CNG masih bisa mengonsumsi bensin karena alat itu sifatnya hanya sebagai tambahan.
”Kalaupun sopir angkot kehabisan gas, mereka masih bisa menggunakan bensin. Jadi, tidak ada yang perlu ditakutkan,” kata Edi.
Pemasangan CNG di angkot, lanjut Edi, merupakan program pemerintah pusat untuk mendukung terwujudnya angkutan umum ramah lingkungan. Secara nasional, program itu dilakukan di Kota Palembang dan Bogor, Jawa Barat, pada tahun 2010.
Ke depan, Dinas Perhubungan tidak akan menerbitkan izin trayek bagi angkot yang tidak dilengkapi CNG. Alat tersebut saat ini sudah bisa dibeli di diler kendaraan dengan harga sekitar Rp 10 juta per unit.