Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rezeki yang Kian Ciut di Usia Senja

Kompas.com - 13/01/2010, 06:47 WIB
Aswin Rizal Harahap

KOMPAS.com — Tua-tua keladi, semakin tua semakin jadi. Pepatah tersebut layak disematkan kepada Sarlan (77) dan Marno (79), para kusir sado yang biasa mangkal di Simpang Sado, Kota Jambi. Kendati fisik kian renta dimakan usia, kedua kakek ini belum mau gantung cambuk alias pensiun sebagai kusir sado.

"Saya sebenarnya bisa saja menikmati hidup dengan tinggal di rumah. Namun, saya tidak mau bergantung kepada anak-anak saya karena hampir semua sudah berkeluarga,” tutur Marno, lelaki yang memiliki 11 anak ini, Jumat (8/1/2010) di Jambi. Kakek dari 18 cucu ini mengaku tidak ingin menambah beban anak-anak selama masih kuat mencari rezeki sebagai kusir sado yang telah dijalaninya sejak tahun 1960-an.

Bahkan, Sarlan masih membiayai sekolah Maskur (17) dan Siti Mudpainah (15), kedua anak bontotnya yang bersekolah di SMA Negeri 3 Jambi. Keputusannya ini bukan perkara mudah mengingat jumlah pelanggan yang ingin menikmati wisata sado di Jambi terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. ”Dalam dua tahun belakangan saya sering selama tiga hari berturut-turut sama sekali tidak mendapat pelanggan,” katanya.

Padahal, Sarlan harus mengeluarkan biaya minimal Rp 25.000 setiap hari untuk membeli pakan kuda. Belum lagi biaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Strategi menurunkan harga sewa sado pun belum membuahkan hasil. Sejak setahun terakhir, para kusir sado menurunkan biaya tur dengan rute Simpang Sado-Ancol-Kampung Manggis-Talang Banjo dari Rp 40.000 menjadi Rp 30.000.

Sementara tarif tur yang rutenya lebih jauh, Simpang Sado-Kemayang-Kota Baru-Palmerah diturunkan dari Rp 60.000 menjadi Rp 50.000 sekali jalan. ”Kalau memang berhari-hari tanpa penghasilan, sesekali saya pinjam uang anak saya. Pinjaman itu langsung saya kembalikan ketika mendapat uang sewa carteran,” kata Marno yang memiliki delapan putra ini.

Bisa tersenyum

Di tengah kian lesunya bisnis wisata sado, Sarlan dan Marno masih bisa tersenyum dengan carteran pada momen tertentu. Sejumlah perayaan di Jambi, seperti serah terima jabatan instansi tertentu, pernikahan, sunat, dan acara ulang tahun, biasanya dimeriahkan menggunakan sejumlah sado. Dengan kereta kuda yang dihias, sado didaulat untuk mengantar klien keliling kota.

Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi Guntur mengatakan, pemerintah setempat berencana menjadikan sado sebagai ikon wisata di Jambi. Namun, pemerintah terkendala jumlah sado di Jambi yang saat ini diperkirakan tidak lebih dari 10 buah. Jumlah tersebut menurun drastis dibandingkan dengan pada tahun 1980-an yang mencapai 50 buah. ”Hal ini cukup menyulitkan karena jumlah turis mancanegara cukup banyak,” katanya.

”Sebenarnya hasil dari carteran inilah yang membuat kami tetap bertahan hingga kini. Kalau sedang musim, kami bisa mendapat carteran rutin seminggu sekali,” kata Sarlan. Biaya carter bagi para kusir sado Rp 300.000 hingga Rp 750.000. Saat HUT Ke-53 Provinsi Jambi pada 6 Januari lalu, keduanya didaulat untuk membawa anak Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin, Sasli dan Azra, berkeliling kota.

Meskipun belum memutuskan untuk pensiun, Sarlan dan Marno mengaku mulai membatasi jam kerja sehari-hari. Saat ini keduanya bekerja mulai pukul 08.00 dan sudah pulang sekitar pukul 13.00. ”Saya harus pandai-pandai menjaga kebugaran karena terkadang sesak napas kalau kelelahan,” kata Marno.

Bagi Jamaludin (55), warga Sipin, sado layak menjadi salah satu ikon wisata di Kota Jambi. Dia berharap pemerintah mendorong pelestarian sado agar menjadi kendaraan wajib bagi turis mancanegara dan domestik saat berkeliling Kota Jambi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com