Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ayo Ngonthel Sama Towil

Kompas.com - 14/11/2009, 06:03 WIB

Apakah dia pernah tertabrak saat bersepeda? "Ya pernah lah, walau sekali. Saat itu saya muter di kompleks Universitas Gadjah Mada (UGM), eh tiba-tiba ada mobil nabrak dari depan. Untung saya hanya lecet-lecet, tapi kagetnya itu lho, lha wong lagi enak-enaknya ngepit disundul dari depan," paparnya.

Towil paling jengkel jika diklakson dan hampir kepepet mobil dan motor, walau pun sepedanya sudah seminggir mungkin. Parahnya, itulah yang kerap menimpa para pengendara sepeda. Di Yogya yang daerah sepeda pun, sepeda belum dihargai pengguna jalan yang lain. "Menyedihkan, memprihatinkan," ujar dia.

Mimpi

Bagi Towil, bisa mempunyai sepeda onthel satu biji pun, dulu seperti mimpi. "Saya naik sepeda sejak SD di Boyolali. Untuk main dan sekolah, selalu naik sepeda. Di jalan sering saya melihat orang bersepeda onthel. Keren banget mereka. Naik sepeda onthel lebih keren ketimbang naik motor," katanya.

Cita-cita lelaki kelahiran Boyolali 16 November 1973 ini baru tercapai tahun 2000. Sepeda merek Raleigh buatan Inggris tahun 1940 sukses dibawa pulang setelah ditebus Rp 800.000 dari si pemilik. Saat itu ia belum terjun ke dunia pit onthel, karena masih menekuni usaha kerajinan (handycraft) sebagai agen.

Riwayat pekerjaan Towil cukup berliku. Ia pernah bekerja serabutan di sebuah restoran di Yogyakarta, menjadi karyawan toko obat yang membuka konter di sebuah hotel di Yogyakarta, hingga menjadi agen di usaha handycraft. Yang terakhir ini bahkan ditekuni 15 tahun.

"Panggilan saya dulu Towil Handycraft. Sekarang jadi Towil Onthel, atau Towil Podjok, hehehe. Sampai sekarang masih banyak teman saya bertanya: Ini Towil yang Towil Handycraft atau bukan? Saya jawab iya. Beberapa dari mereka sulit percaya," ujarnya.

Dampak dari bekerja di hotel dan di sektor handycraft membuat Towil dipaksa dan terpaksa belajar Bahasa Inggris. Keahliannya itu ternyata berguna di kemudian hari. Sekarang Towil go internasional , misalnya dalam berburu sepeda, ia sudah menumpuk relasi. Banyak koleksinya yang didapat dari kolektor di Belanda.

Laki-laki yang menamatkan studi di SD Muhammadiyah Boyolali, SMP Muhammadiyah 10 Boyolali dan SMA Muhammadiyah Boyolali ini mengatakan, hobinya diselaraskan dengan mencari uang. Jika cocok harganya, sepeda saya lepas. "Tapi ada beberapa yang mungkin tidak akan saya lepas, misalnya Swiss Army, hehehehe," ujarnya.

Pekerjaan lain Towil sekarang adalah pemandu turis asing yang ingin menjelajah pedesaan. Lokasi rumahnya yang masih pedesaan, sangat mendukung. Turis-turis itu pun diajak berkeliling desa naik onthel. Kalau nggak mau naik onthel, Towil juga punya sepeda gunung dan sepeda jengki. Towil menikmati apa yang dijalani sekarang.

"Saya hanya mencoba menikmati hidup seperti orang bersepeda. Pelan-pelan tapi maju ke depan. Hidup itu dinikmati, jangan terburu-buru. Kekuatan bersepeda kan menunjukkan kekuatan manusia. Kalau jalan mendaki dan berat ya sepeda dituntun. Intinya hidup itu adalah mengukur kekuatan diri," kata suami dari Rustina (26) dan bapak dari Malio Yudhistira (6).  (Lukas Adi Prasetya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com