Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Hirun yang Lolos dari Lidah Maut

Kompas.com - 05/10/2009, 10:30 WIB

PARIAMAN, KOMPAS.com —  ’Lidah maut’ yang turun dari salah satu puncak gunung dengan kecepatan bagaikan gelombang laut menghampiri bibir sungai telah membuat tiga perkampungan di Padang Pariaman tertimbun.

Perkampungan Cumanak, Kenagarian Larehpanjang, dan Lubuk Laweh, Pulau Koto Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan Padang Pariaman, Sumbar, kini hanya terlihat tanah kuning bercampur bebatuan dan batang pohon kayu.

Tak sekadar rumah dan fasilitas umum, warga penghuninya pun ikut tertimbun lindah maut, tanah longsor. Sekitar 400-an jiwa terkubur hidup-hidup.

Namun, Hirun (53), pria paruh baya, selamat dari jilatan lidah maut yang terjadi Rabu (30/9) sore, berselang hitungan detik saat gempa berkekuatan 7,6 SR mengguncang pesisir pantai barat Sumbar.

"Awak (saya) tak mungkin selamat dari lidah tanah longsor yang begitu deras ke arah bibir sungai," tutur Hirun, salah satu warga Cumanak yang selamat dari timbunan tanah longsor. Ajal merupakan rahasia Allah SWT yang tak bisa diketahui manusia kapan saatnya tiba, kenyataan ini dibuktikan terhadap Hirun.

"Lidah tanah longsor yang bercampur pohon kayu itu hanya berjarak sekitar dua meter jaraknya saat saya sedang lari pontang-panting menuju jembatan gantung, tapi ajal belum saatnya tiba, akhirnya masih selamat," tutur Hirun yang tengah melihat rumahnya di tengah sawah di Dusun Cumanak tertimbun tanah longsor.

Ayah satu anak itu menceritakan, dirinya bisa selamat dari jilatan lidah tanah itu karena ada sebatang potoh kelapa yang menghalangnya. Saat itulah Hirun bisa menuju fondasi jembatan gantung yang berjarak sekitar 50 meter dari sawahnya.

Pegangan tangan pertama di fondasi beton jembatan gantung sempat terlepas, tapi kembali bisa terpegang sebagian sehingga bisa naik cepat ke atas jembatan dan langsung berlari.
Namun, di pertengahan jembatan yang menghubungkan perkampungan Cumanak dengan Lubuk Laweh dan Pulau Koto, konstruksi bangunan jembatan nyaris ambruk.

"Jembatan gantung yang panjang sekitar 80 meter itu hanya miring saja sehingga masih bisa dilewati hingga ke arah dua kampung di sebelah Cumanak," katanya.

Jadi, setelah sampai di seberang Hirun berdiri di tengah sawah masyarakat Pulau Koto sampai guncangan gempa berakhir. Ketika guncangan gempa terjadi, Hirun sedang mencangkul sawah untuk persiapan tanam, tiba-tiba bumi bergoyong kuat tapi tak begitu jadi perhatian.

Saat guncangan kuat terjadi, katanya, masih dalam kondisi sadar dia menoleh ke seberang sungai. Terlihat tanah longsor menimbun badan jalan yang menghubungkan Dusun Lubuk Laweh dengan Pulau Air..

Dalam hitungan detik disusul satu longsoran dahsyat dari Gunung Tigo bagian barat dengan material bercampur bebatuan dan pohon kayu yang bertumbangan terus menyusur arah bibir sungai.

"Saya lari keluar dari sawah. Rasanya cukup kencang, tapi jarak tanah longsoran sekitar dua meter dari badan ini," ujar suami En (52) itu.

Dedek Putra (10), anak semata wayang Hirun, ikut tewas. Hirun menuturkan, sekitar pukul 15.00 Dedek datang ke tengah sawah (tempat Hirun bekerja), meminta uang Rp 4.000.

"Lalu ditanya untuk apa uang sebanyak itu buat Dedek? Kok banyak sekali, nanti tak ada untuk belanja berangkat sekolah besok (Kamis). 'Saya tak akan minta uang lagi besok (1/9) sama Abak (ayah), kasihlah sekali ini bah"," kata Hirun menirukan perkataan anaknya yang duduk di kelas tiga SD 60 Padang Pariaman itu.

Setelah mendapat uang dari Hirun, Dedek lalu pergi ke warung yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah, langsung menonton televisi di rumah warga.

"Saat gempa terjadi disertai tanah longsor itu, anak saya termasuk salah satu korban yang tertimbun," ungkap Hirun dengan wajah kosong menatap ke hamparan tanah kuning yang menimbun tiga berkampung penduduk itu.

Hirun dengan bertongkat perlahan menelusuri hamparan tanah longsor untuk mencari jasad putra satu-satunya. Istrinya, En, ikut mencari jasad buah hati mereka.

"Saya tak ada firasat sehari atau sepekan sebelum terjadinya bencana gempa disertai longsor itu. Hanya saja Rabu pagi badan terasa lelah saja sehingga enggan turun ke sawah," tutur Hirun.

Tapi, hidup di dusun yang keseharian mata pencarian mengandalkan penghasilan dari hasil panen padi sawah membuatnya tidak bisa tidak harus turun mempersiapkan masa tanam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com