Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karinding Memang Pemikat Asmara

Kompas.com - 25/07/2009, 11:33 WIB

Oleh Nazarudin Azhar

Tulisan Yoyo Dasriyo berjudul "Karinding Menggelin-ding, Mengiring Ki Selenting" di rubrik Anjungan Kompas Jawa Barat (4/7) mengingatkan saya pada betapa kayanya khazanah budaya Sunda. Kekayaan itu tidak hanya seputar waditra (alat musik), tetapi juga cerita lisan yang berkaitan dengan jenis waditra tersebut. Misalnya, kisah tentang Ki Selenting, sang penjahat kelamin, yang suka memainkan karinding sebagai pemikat perempuan, sebagaimana dikisahkan Kang Yoyo pada artikel tersebut.

Di lain tempat, di Tatar Pasundan ini, karinding juga berlatar kisah yang tidak kalah menarik. Di Kabupaten Tasikmalaya, misalnya, penulis sempat menemui salah seorang seniman tradisi yang tetap istikamah mengembangkan seni karinding di lingkungan tempat tinggalnya. Nama seniman itu Oyon Noraharjo.

Di tempat tinggalnya, Kampung Citamiang, Desa Pasir Mukti, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Oyon dalam usia yang beranjak senja, satekah polah berusaha mempertahankan seni karinding. Kecintaannya sejak muda pada waditra ini membuatnya tetap semangat mengajari anak-anak setingkat SD dan SMP di desanya setiap Minggu sore meski pensiunan guru lulusan IKIP (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung ini tidak mendapat materi dari kegiatannya di luar bertani ini.

Dari Mang Oyon, demikian sapaan akrabnya, penulis mendapat selajur kisah yang unik, yang konon dianggap sebagai asal muasal terciptanya waditra karinding, sebagaimana dipercaya Mang Oyon dan warga Cineam lainnya.

"Jajaka" Kalamanda

Nun dahulu kala, lembur Citamiang, Desa Pasir Mukti, pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh. Di kampung ini tersebutlah ada seorang jejaka, gagah pert?ntang, bernama Kalamanda. Ia, menurut tuturan para pitarah, masih keturunan menak Galuh.

Suatu waktu, di suatu tempat saat senja turun menebar kilau lembayung, di jalan pasampangan, Kalamanda berpapasan dengan seorang mojang. Sesaat bertemu pandang, dan terbandanglah hati sang jejaka oleh dara yang kelak ia ketahui bernama Sekarwati.

Arkian, Sekarwati adalah gadis bak bidadari. Hanya dalam satu lirikan, Kalamanda pun jatuh cinta setengah mati. Kalamanda lalu mencari cara untuk mendekati Sekarwati, yang konon telah membuat patah hati ratusan pemuda yang berniat mendekatinya. Beragam aksi berbalut ketampanan dan materi tak mampu meluluhkan sang pujaan. Jurus yang ditampilkan, mulai jawara, menak, hingga santri, tidak ada yang mempan.

Kalamanda lalu mencari cara. Ia mencoba merangkai benda yang indah dan bermacam perhiasan unik, tetapi tidak ada yang memuaskannya. Hingga kemudian ia pun bertapa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan jalan. Demikianlah, setelah tirakat kuru cileuh kentel peujit, akhirnya ia mendapat petunjuk gaib. Ia diharuskan membuat sejenis waditra yang suaranya mampu meluluhkan rasa dia yang dipitresna.

Setelah mencoba membuat beragam alat musik, akhirnya ia menemukan waditra bersuara menawan yang mampu mewakili getar perasaannya kepada si mojang. Waditra sederhana tersebut dibuat dari pelepah kawung (enau) kering.

Pada suatu malam, Kalamanda diam-diam mendekati jendela kamar Sekarwati, kemudian memainkan waditra tersebut sepenuh rasa kasmaran. Suaranya yang lembut seperti punya daya magis yang luar biasa menembus sanubari Sekarwati yang hampir terlelap tidur. Ringkas cerita, Sekarwati pun terpesona dan menerima pinangan Kalamanda hingga mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.

Nah, waditra yang bersuara penuh pukau itu, oleh Kalamanda, dinamai karinding. Ia menamai demikian karena wujudnya hampir mirip dengan kakarindingan, nama sejenis binatang lucu yang biasa ada di sawah zaman dulu, yang sekarang sudah musnah.

Kisah asmara

Bila menyimak kisah Kalamanda, kemudian kisah Ki Selenting, yang sama-sama berkait dengan karinding dari dua daerah yang berbeda (Tasikmalaya dan Garut), ada semacam persamaan, yakni karinding dijadikan alat untuk memikat hati perempuan. Bedanya, dalam kisah Ki Selenting, karinding dipergunakan pemikat perempuan sebagai modus untuk melancarkan nafsu jahat sang punya lakon sebagai penjahat kelamin. Namun, dalam kisah Kalamanda, kita menghirup aroma romantik-melankolik yang berhulu pada kehalusan perasaan cinta sang jejaka kepada pujaannya.

Akhir kisah keduanya pun berbeda. Ki Selenting babak belur hingga meninggal dihakimi massa, sedangkan Kalamanda damai sentosa bersanding dengan Sekarwati.

Yang juga membedakan, dalam dua cerita rakyat ini, adalah peran si tokoh dalam kaitannya dengan karinding. Dalam kisah Ki Selenting, karinding terkesan sebagai waditra yang sudah ada dan Ki Selenting hanya memainkannya. Adapun dalam kisah Kalamanda, sang tokoh diceritakan sebagai sang pencipta waditra itu sendiri. Ia mampu menciptakan jenis waditra tersebut setelah mendapat ilham saat semadi dan kemudian memberinya nama karinding.

Tentu saja ini hanya sebuah kisah turun-temurun dari rakyat yang hidup pada sebuah lingkungan masyarakat. Mungkin saja ada kisah berbeda di lain daerah yang juga di dalamnya ada kesenian karinding, semisal di Ciamis atau di daerah lain.

Hanya saja, dari dua kisah di atas, mengapa suara karinding harus selalu bertaut mesra dengan masalah asmara? Apakah karena suara karinding benar-benar khas, punya getar nada yang berbeda dengan waditra lain, hingga kemudian menjadi personifikasi dari perasaan terdalam, semacam hasrat birahi manusia? Nah, untuk hal ini, mungkin tergantung siapa yang mengimajinasikan.

Katakanlah, para pitarah kita dahulu kala, yang hidup dalam kesederhanaan dan ragam waditra yang sangat terbatas, karena keterbatasannya, mengandaikan suara karindinglah yang pantas disandingkan dengan pesona getar cinta manusia dibandingkan dengan suara waditra lain. Sebab, untuk zaman sekarang, mungkin saja ada yang berimajinasi bahwa perasaan cinta lebih terwakili dengan suara seruling cianjuran yang mendesah sendu, atau harpa, biola, harmonika, dan lain sebagainya.

Di Cineam, seni karinding hingga kini terus hidup. Oyon yang memimpin grup karinding Sekar Komara Sunda bersama seniman karinding lain terus berupaya menciptakan regenerasi. Hasilnya cukup baik. Banyak anak muda kini piawai memainkan lalaguan karinding. Bahkan, murid sekolah pun mementaskan seni karinding saat samenan sekolahnya. Oyon, bersama grupnya, selain bermain di lingkungan kampungnya, juga sempat pentas di Gasibu dan Hotel Preanger di Bandung beberapa tahun silam guna menghibur tamu mancanegara. Ia sempat pula berkolaborasi dengan grup Kabumi, UPI, di Gedung Kesenian Tasikmalaya tahun 2002. Saat itu, karinding diadumaniskan dengan waditra modern dan mampu menjadi suguhan musik yang benar-benar asyik dinikmati.

NAZARUDDIN AZHAR Penyair, Tinggal di Tasikmalaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com