Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolong "Jang" Lupakan "Katong"...

Kompas.com - 27/03/2009, 04:46 WIB

Setelah menerima bantuan itu, mereka langsung membayarkan uang untuk membeli tanah di daerah Air Besar, Paso. Tanah seluas 1,5 hektar itu dibanderol Rp 300 juta oleh empunya. Waktu itu ada 31 keluarga pengungsi dari luar barak Waemahu yang ikut membeli tanah. Setiap keluarga membayar panjar Rp 1,5 juta dan terkumpul Rp 78 juta. Dalam benak mereka, kekurangan Rp 222 juta dipikirkan nanti. Tanah harapan itu digusur mulai Maret hingga Desember 2007 atas bantuan pemerintah daerah.

Namun, pada 2008 lahan di daerah berbukit itu terkena longsoran dan tidak mungkin didirikan bangunan. Harapan mempunyai rumah lagi pupus sudah. Uang sudah habis dan tidak mungkin memperoleh bantuan lagi. Saat ini, pemerintah sedang membangun talut untuk menahan tebing, tetapi tak kunjung selesai.

”Jang lupakan katong ini. Kalau bisa pemerintah segera menyelesaikan talut itu supaya ada kepastian untuk membangun rumah,” ujar Kelvin (21), pengungsi yang baru saja membangun bahtera rumah tangga.

Kelvin dan puluhan anak muda di barak pengungsian itu tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka mencari nafkah dengan menjadi tukang ojek, pengayuh perahu penyeberangan Galala-Poka di Teluk Ambon, dan menambang pasir laut. Penghasilannya tidak menentu, rata-rata Rp 500.000 per bulan.

Agus (42), pengungsi di Paso, mengaku menjadi penggali pasir laut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pasir dijual seharga Rp 150.000 per truk, untuk penambang Rp 75.000 dan sisanya untuk petuanan Paso. Saat musim angin barat, penambangan berhenti sekitar tiga bulan karena gelombang terlalu kuat. Mereka bekerja apa saja untuk menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak. ”Anak-anak harus tetap sekolah supaya masa depannya lebih baik meski kami tidak memiliki uang,” ujar Jerson, pensiunan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Buru.

Mereka tidak memiliki modal untuk memulai usaha. Memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah. Modal satu-satunya hanyalah semangat dan doa supaya bisa segera diperhatikan oleh pemerintah. Pengungsi korban konflik Maluku yang sudah memperoleh bantuan pemulangan seharusnya memperoleh bantuan modal usaha. Modal itu disalurkan melalui Dana Keserasian Rp 35,5 miliar tahun 2006. Namun, karena penyaluran dana tidak beres, persoalan pun diambil alih Kejaksaan Tinggi Maluku. Sejumlah pejabat Dinas Kesejahteraan Sosial Maluku akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi.

Nasib para pengungsi itu tak jauh berbeda dengan 12.082 keluarga yang hingga saat ini belum memperoleh bantuan pemulangan. Mereka tersebar di semua kabupaten/kota di Maluku tanpa rumah. Umumnya mereka menumpang di rumah keluarga dan bekerja serabutan. Pemerintah Provinsi Maluku menargetkan penyelesaian pengungsi itu pada 2008. Ternyata Pemprov Maluku tidak memiliki dana yang mencukupi. ”Pemerintah Provinsi berharap bantuan dari pemerintah pusat. Ternyata pada 2008 tidak ada alokasi untuk bantuan pengungsi. Penanganan pengungsi di Maluku kacau,” ujar Pieter Pattiwaelapia, Koordinator Koalisi Pengungsi Maluku.

Pemprov Maluku kembali menargetkan penyelesaian sisa pengungsi pada tahun 2009. Pembiayaan ditanggung bersama oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial, Pemprov Maluku, dan pemerintah kabupaten/kota.

Sudah hampir 10 tahun mereka terbuang. Kini mereka tinggal di tiga (bekas) gudang cengkeh yang ditinggalkan PT Vita Samudera. Bekas gudang yang lain, di lokasi itu, digunakan untuk menampung satu satuan tentara yang menjaga Maluku....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com