Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Kepastian Nasib...

Kompas.com - 14/02/2009, 06:11 WIB

Sudah hampir sebulan orang Rohingya asal Myanmar dan Banglades berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka menanti kepastian nasib, kapan dipulangkan ke negara asalnya atau diberi status pengungsi.

Departemen Luar Negeri akan mengirimkan tim kedua, awal pekan depan, untuk menentukan status orang-orang Rohingya yang terdampar di Idi Rayeuk, Aceh Timur. Untuk sementara ini, status orang-orang Rohingya yang terdampar di Sabang lebih cenderung sebagai migran bermotif ekonomi sehingga harus dipulangkan kembali ke negara asalnya.

Juru Bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah, Jumat (13/2), mengatakan, pemberian status pengungsi kepada orang-orang Rohingya itu belum diberikan. ”Kami masih menunggu kepastian dari UNHCR (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi) karena diduga sebagian dari mereka berasal dari kamp pengungsi UNHCR di Banglades,” katanya.

Modal nekat

Seperti halnya tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang mengadu nasib di negara jiran, orang-orang Rohingya ini pun cuma bermodal nekat demi lari dari impitan ekonomi dan tekanan junta militer Myanmar. Dokumen resmi melakukan perjalanan ke luar negeri sama sekali tak mereka punya.

Mereka mencoba peruntungan nasibnya di Thailand. Rahmat, salah seorang Rohingnya di Idi Rayeuk, menuturkan, suku Rohingya hanya boleh menjadi petani, nelayan, atau penebang kayu di hutan. Pekerjaan lain di luar ketiga jenis itu hanya guru bagi sesama sukunya. ”Itu pun kami tak boleh bersekolah tinggi-tinggi,” kata Rahmat.

Rahmat harus membiayai istri dan tiga orang anak dengan menjadi pekerja kasar di sebuah pabrik roti di Thailand. Pekerjaan itu baru tiga bulan dia jalani sebelum akhirnya ditangkap aparat Thailand.

Rahmat mengaku dia dan kawan-kawannya yang tertangkap dipukul dan disiksa aparat Thailand. Bekas pukulan dan siksaan tersebut terlihat jelas di beberapa bagian tubuh orang-orang Rohingya yang terdampar di Idi Rayeuk.

Seorang dokter yang bertugas di unit gawat darurat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Idi Rayeuk menuturkan, kondisi luka orang Rohingya ini bertambah parah karena mereka menderita dehidrasi akibat terkatung-katung di laut selama 22 hari tanpa bekal makanan dan minuman yang cukup. ”Tanpa luka cambukan atau pukulan pun, kulit manusia mudah terkelupas dan luka kalau tak mendapat asupan makanan dan minuman cukup,” ujarnya.

Muhammad Alam, seorang Rohingya lainnya, menuturkan kengerian selama ditahan di pulau di perairan Andaman setelah ditangkap aparat Thailand. Pada November 2008, Pemerintah Thailand memutuskan mengusir mereka satu per satu dari pulau itu. Orang-orang Rohingya itu ditempatkan di beberapa perahu tanpa mesin. Alam mengatakan ada sembilan perahu yang disiapkan aparat Thailand.

Orang-orang Rohingya ini dipaksa berjejalan masuk dalam perahu. Satu perahu bisa diisi oleh lebih dari 200 orang. ”Kami tak leluasa di dalam perahu. Tak ada ruang yang tersisa. Bahkan, untuk bisa berdiri, harus bergiliran karena kami duduk berdesak-desakan,” ujar Rahmat.

Oleh aparat Thailand, perahu-perahu yang berisi orang Rohingya itu diikat berjejer satu sama lain. Ikatan ini bisa mencapai empat perahu. Setelah perahu-perahu terikat, mereka ditarik menggunakan kapal milik aparat berwenang Thailand dan berlayar ke tengah lautan. Sebelumnya, orang-orang Rohingya ini hanya dibekali sedikit nasi dan seliter air per orang.

Rahmat menuturkan, kapal Thailand ini menarik perahu yang ditumpangi orang Rohingnya selama tiga hari ke tengah laut. Berlayar sejauh mungkin dari wilayah Thailand dan membiarkan orang-orang Rohingya menjadi masalah buat negara-negara lain tempat mereka terdampar.

Saat diberi tahu kemungkinan Pemerintah Indonesia mengembalikan mereka ke negeri asalnya, Rahmat langsung terdiam. Dia memelas karena penderitaan 22 hari meregang nyawa di laut seolah tak berarti apa-apa. Dia berpikir, jika dulu manusia perahu Vietnam diberi tempat penampungan layak di Pulau Galang dan diperhatikan UNHCR, mereka pun semestinya layak mendapatkannya.

Mereka percaya saudaranya sesama Muslim di negeri lain akan memperlakukan mereka lebih manusiawi.

”Penduduk merasa iba, mereka seolah ikut mengalami penderitaan orang Rohingya,” kata Camat Idi Rayeuk Irfan Kamal. (bil/fro)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com