Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan, Tanah, Air, dan Banjir

Kompas.com - 12/12/2008, 13:47 WIB

Oleh Johan Iskandar

Hampir setiap musim hujan, di beberapa daerah di Kabupaten Bandung, seperti Majalaya, Baleendah, dan Dayeuhkolot, terjadi banjir dan longsor. Sementara itu, beberapa kawasan di Kota Bandung juga sering dilanda banjir cileuncang. Mengapa bencana banjir, longsor, serta banjir cileuncang itu rutin terjadi?

Banjir dan longsor bukanlah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung api meletus. Kejadian itu lebih tepat dinamakan bencana ekologi, yaitu bencana yang disebabkan perilaku manusia yang tidak baik terhadap lingkungan atau tidak memedulikan kaidah ekologi. Hutan, tanah, dan air

Hutan, tanah, dan air memiliki hubungan sangat erat. Misalnya, hutan campuran yang memiliki banyak serasah dan tumbuhan bawah, ketika turun hujan, nilai erosi tanahnya hanya 0,03 kg per m2 per tahun. Akan tetapi, di kawasan hutan campuran yang tidak memiliki tumbuhan bawah, erosi tanahnya 0,06 kg per m2 per tahun. Bahkan, pada kawasan hutan campuran yang tidak memiliki tumbuhan bawah dan serasah, erosi tanahnya lebih tinggi, yaitu 4,39 kg per m2 per tahun (Soemarwoto 2001).

Dengan demikian, keberadaan serasah dan tumbuhan bawah pada kawasan hutan berperan penting dalam melindungi tanah dari bahaya erosi. Beberapa sistem agroforestri tradisional, seperti kebon tatangkalan/talun dan pekarangan, yang memiliki struktur tajuk vegetasi berlapis-lapis dan banyak serasah seperti ekosistem hutan, juga sangat baik melindungi tanah dari bahaya erosi.

Sementara itu, pengaruh evapotranspirasi tumbuhan dapat mengurangi kadar air dalam tanah. Akibatnya, berat tanah menjadi berkurang. Sebaliknya, akibat hujan, tanah yang jenuh air lebih mudah longsor karena ikatan antarpartikel tanah berkurang. Pada umumnya, dalam kondisi tanah jenuh dengan air, akar pepohonan dapat menahan longsoran tanah sekitar 80 persen. Karena itu, apabila pepohonan hutan ditebang, akar pepohonan membusuk di dalam tanah dan kekuatan menahan longsor berkurang. Akibatnya, pascapenebangan pepohonan hutan, tanah kian rentan terhadap bahaya longsor.

Selain itu, akibat penebangan hutan yang luas, jumlah air yang tersedia menjadi besar karena evapotranspirasi dari tumbuhan menjadi kecil. Namun, ketika turun hujan, biasanya sebagian besar air hujan akan mengalir di atas permukaan tanah. Akibatnya, nilai aliran permukaan tanah sangat besar dan mubazir karena air berlebihan langsung masuk ke sungai dan menimbulkan banjir, terutama apabila sungainya dangkal akibat pelumpuran dari erosi tanah. Namun, permukaan air tanah dapat menurun dan pengisian kembali air ke dalam tanah oleh air hujan sangat sedikit. Karena itu, banyak mata air (cai nyusu) kering, permukaan air sumur menurun, dan terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau.

Adapun keberadaan hutan kota, taman, dan pekarangan di ruang terbuka hijau (RTH) kota, selain berperan menjaga sistem hidrologi, juga sangat penting dalam produksi oksigen dan menyerap karbon dioksida yang berpotensi sebagai pencemar di udara dan penyebab pemanasan global.

Perilaku manusia

Keberadaan hutan, tanah, dan air sangat penting bagi kehidupan manusia. Namun sayang, banyak kawasan hutan di Tatar Sunda rusak. Misalnya, pada periode 1984-1996, hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu tinggal tersisa sekitar 21 persen dan lahan pertanian berkurang 44 persen. Sebaliknya, lahan permukiman dan industri meningkat sekitar 149 persen. Kawasan hutan di Gunung Wayang banyak yang rusak, antara lain, karena dijarah penduduk dan ditanami sayuran komersial.

Selain itu, banyak kebon tatangkalan dialihfungsikan menjadi kebun sayur. Pekarangan juga banyak diubah dengan ditanami sayuran komersial. Di lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi kawasan industri, permukaan tanahnya tidak kondusif menyerap air larian ketika hujan turun karena permukaan tanahnya diperkeras. Akibatnya, ketika hujan turun, timbul banjir cileuncang. Melimpahnya air sungai pun menyebabkan banjir yang menggenangi berbagai kawasan rendah.

Selain itu, akibat erosi tanah di DAS Citarum hulu, kesuburan tanah berkurang, produksi pertanian menurun, dan pendapatan petani lokal menurun. Di Sub-DAS Cisangkuy, Citarum hulu, misalnya, setiap tahun erosinya sangat tinggi, yaitu mencapai 182 ton per hektar, sedangkan lahan kritis tercatat 1.150 hektar (Kompas Jawa Barat, 21/11/2008). Akibatnya, sungai mengalami pelumpuran, pendangkalan, dan banjir.

Alih fungsi lahan di kawasan Kota Bandung juga terjadi sangat pesat. Tahun 1921, misalnya, luas Kota Bandung mencapai 2.856 hektar dengan ruang terbuka hijau 70 persen. Namun, pada 2005, keadaannya terbalik. Dengan luas Kota Bandung 16.729,65 hektar, lahan terbangun mencapai 76 persen. Sementara itu, kawasan RTH Kota Bandung hanya 8,76 persen. Padahal, menurut Undang-Undang Tata Ruang Nomor 1 Tahun 2007, RTH wilayah perkotaan harus tersedia 30 persen, yang terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat.

Akibatnya, tahun 1960-an, koefisien air cileuncang di Kota Bandung tercatat sekitar 40 persen dan di Bandung utara 25 persen. Namun, pada 2002, cileuncang di Kota Bandung meningkat menjadi 75 persen dan di Bandung Utara menjadi 60 persen (Soemarwoto, 2002). Apalagi kini, dengan kian banyaknya lahan terbuka hijau di kawasan Bandung utara yang diperkeras, tentu koefisien air cileuncang kian bertambah.

Jadi, selama perilaku manusia tidak baik terhadap lingkungan dan berbagai program pembangunan tidak memerhatikan lingkungan, selama itu pula banjir, banjir cileuncang, dan longsor akan rutin menimpa kita setiap musim hujan. 
JOHAN ISKANDAR Dosen Biologi dan Peneliti PPSDAL Lemlit Unpad

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com