Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pornografi" Dalam Puisi Dharmadi

Kompas.com - 01/12/2008, 23:20 WIB

Oleh : Rukmi Wisnu Wardani

Dua buku kumpulan puisi, Aku Mengunyah Cahaya Bulan (AMCB) (2004) dan Jejak Sajak (JS) (2008), yang dikirimkan oleh penulisnya sendiri, Dharmadi, saya terima, setelah kami bertemu kembali beberapa bulan yang lalu, di acara bulanan Pasar Malam (Paguyuban Sastra Rabu Malam), salah satu komunitas pecinta sastra yang ada di Jakarta, yang awal berdirinya digagas antara lain oleh Johanes, Jonathan, Budhi Setiawan, Zai Lawanglangit, Ileng, yang menggelar acara rutinnya tiap Rabu malam akhir bulan, di Wapres (warung apresiasi) di kompleks Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan.

Saya melihat warna-warni frekuensi pada kumpulan puisi Dharmadi. Sebagai manusia yang tak lepas dari kehidupan dunia (entah pengalaman pribadi atau orang lain), saya melihat, penulis cenderung menuangkan jejak perjalanan, keprihatinan, suka duka, ke dalam puisi-puisinya dengan cara yang lembut, hati-hati dan penuh barikade privasi.

Tapi jika dicermati, kecenderungan puisi-puisinya jauh lebih condong kepada Sang Khalik. Mungkin ini berhubungan dengan jejak penulis sendiri, dengan segala pergulatan batin dan perenungannya dalam upaya menjangkau, berjalan dan menuntaskan jalur peleburan dengan-Nya.

Kecenderungan arah puisinya yang lebih kental di jalur ini, mungkin dilatar-belakangi oleh laku prihatin, tetapa dan mungkin juga dipicu oleh teriakan batinnya dalam melihat perkembangan pola hidup, pola pikir manusia (Indonesia) belakangan ini yang cenderung terkontaminasi, kaku, majal.

Coba simak  puisi-puisinya di bawah ini:
sehabis hujan dideraskan badai/tinggal engahan daun-daun/urat pohon meregang dalam dingin/tinggal riwis di teritis//sungai wajahnya dalam muram//langit masih diam/aku dalam diam/ada yang memandangku/diam-diam// ( Sehabis Hujan, AMCB, hal 50).

dalam kediaman batu/menyangga langit/setia mengakarkan kehidupannya/ke bumi//(Candi Cetho,AMCB, hal 51).

batu dalam basah embun/di dasar kali di musim kemarau/ sambil mencucup cahaya pagi/bergumam sendiri; engkau beri/aku energi//(Sajak Batu, AMCB,hal 55)

demi hujan langit setia menjerat awan yang digiring angin/sambil mengingat bumi//(Dalam Kemarau,AMCB,hal 59).

embun membasuh malam/dari debu pengkhianatan/
dalam tatapan rembulan// (Penyucian,AMCB,hal 61)

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com