Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bos, Mampir Bos!

Kompas.com - 20/04/2008, 12:36 WIB

ilham khoiri & Jimmy S Harianto

Kawasan pelacuran di Dolly dan Jarak, Surabaya, seperti gula yang dikerumuni semut. Di balik sensasi bursa seks yang menggeletarkan berahi, menggeliat pula bisnis bernilai miliaran rupiah yang menguntungkan ribuan orang. Wacana relokasi pun akhirnya berbenturan dengan bermacam kepentingan.

Denyut kehidupan Dolly di Jalan Kupang Gunung Timur I sepanjang 150-an meter di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, dimulai saat petang. Demikian pula sepanjang Jalan Jarak—jalan utama kawasan pelesiran terbesar di Surabaya ini.

Ketika hari beranjak gelap, lampu di puluhan wisma Gang Dolly yang berderet di kiri-kanan jalan itu menyala. Sinar gemerlapan menyoroti tubuh-tubuh perempuan yang duduk mejeng di kursi sofa dalam etalase dengan dinding kaca tembus pandang.

Ratusan orang berjalan kaki hilir mudik sambil celingukan memelototi para perempuan berdandan seksi yang dipajang bak dagangan itu. Mereka—biasa disebut pekerja seks komersial (PSK)—memperlihatkan ekspresi malu, cemas, sekaligus menggoda.

”Bos, mampir, bos. Hanya Rp 80.000, pelayanan dijamin oke. Karaoke atau Minakjinggo. Miring penak, jengking monggo!” Begitu para makelar itu berlomba menawarkan ”dagangannya” dengan sapaan sok akrab sambil menyeret lengan orang-orang yang lewat.

Etalasenya mirip dengan etalase hidup di Zeedijk, distrik lampu merah dan pelacuran terkenal dekat Centraal Station, stasiun besar di kota Amsterdam, Belanda. Akan tetapi, jika di Zeedijk para penjaja seksnya berpose berdiri di etalase dan lenggang-lenggok seperti di catwalk, maka di Dolly mereka duduk berjajar di sofa empuk, di balik etalase di pinggir jalan. Disorot lampu terang benderang....

Setelah itu, semuanya berlangsung singkat. Pengunjung yang berhasrat tinggal menunjuk perempuan yang diminati. Makelar—di beberapa wisma bahkan memakai seragam batik lengan pendek—segera menuntun si tamu ke ” kamar praktik” di wisma.

Bersamaan dengan roda bisnis seks yang berputar, ekonomi rakyat juga berdenyut. Itu terlihat dari ratusan mobil dan motor yang memenuhi teras rumah penduduk yang disulap jadi lahan parkir. Tarif parkir mobil sekitar Rp 20.000, motor Rp 3.000. Jika menginap, tarifnya bisa berlipat.

Para penjaja makanan, penganan kecil, minuman, dan rokok tak mau ketinggalan. Jalan yang sesak itu pun menjadi riuh oleh ”teng-teng” tukang nasi goreng, kepulan asap tukang sate, atau dentingan minuman keras. Taksi, becak, bahkan pengemis pun turut memeriahkan jalanan sempit itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com