Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wiji Raib Setelah Pertemuan di Tangerang

Kompas.com - 19/01/2008, 15:43 WIB

Laporan Wartawan Surya, Junianto Setyadi
KAPAN tepatnya Wiji Thukul menghilang, sulit memastikan. Namun, sahabatnya yang juga sesama aktivis gerakan Winarso yakin penyair-demonstran tersebut hilang pada Maret 1988.

Mengapa Winarso alias Narso yakin menyebut Maret 1998? Pasalnya, dia terakhir kali bertemu Thukul di Tangerang, pada Maret 1998 tetapi lupa tanggalnya. Setelah itu, Thukul lenyap bak di telan bumi, sampai sekarang.

Setidaknya, begitulah pengakuan Winarso ketika saya temui di Kantor Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) Yaphi Solo, Jumat (18/1) sore lalu. Demonstran berusia 51 tahun namun masih tampak muda ini sekarang aktif di LPH Yaphi. Sedangkan saat reformasi, tatkala dia di jalanan rajin memprotres Soeharto dan Orba, Narso memakai bendera Serikat Rakyat Surakarta (SRS).

SRS, kala itu, merupakan salah satu onderbouw atau sayap politik Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sayap politik lain, di antaranya, Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), yang dimotori Thukul, dan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID).

“Saya ingat bertemu dia terakhir Maret 1998 lalu, siang hari sekitar pukul 13.00 WIB. Tempatnya, sebuah tempat kos teman kami di Tangerang,” Narso mengenang sahabatnya yang pelo alias cedal tersebut.

Menurutnya, kala itu para aktivis prodemokrasi -termasuk dirinya dan Thukul— sedang “tiarap” sekaligus menyelamatkan diri. Penyebabnya, mereka diburu aparat keamanan setelah kasus ledakan bom rakitan di Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Barat, 18
Januari 1998, yang menyebabkan aktivis SMID Agus Priyono alias Jabo dipenjara tujuh bulan. Agus kini memimpin Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas)


“Waktu itu Thukul datang ditemani seorang aktivis. Setelah berdiskusi di tempat kos tersebut, aktivis itu mengajak saya dan Thukul keluar untuk makan siang. Saya tak mau ikut. Mereka kemudian pergi berdua,” ucap mantan pekerja teater ini.

Mengenang kembali peristiwa tersebut, sekarang Narso merasa beruntung. Pasalnya, karena menolak diajak makan siang kala itu, dirinya selamat, sedangkan Thukul raib. “Andai waktu itu saya mau ikut, mungkin saya hilang juga…,” tuturnya sembari mengusap keringat di dahinya.

Ucapan Narso tak berlebihan. Kendati namanya secara umum mungkin tak setenar Thukul, namun nama Narso juga terkenal di kalangan para aktivis gerakan, terutama yang “berafiliasi” ke PRD. Jadi, bisa saja dia kala sebelum reformasi itu juga menjadi target operasi seperti Thukul namun lebih beruntung.

Sejak sebelum Soeharto lengser, Narso –-seperti halnya Thukul--  rajin unjuk rasa melawan Soeharto dan Orba. Bukan hanya di Solo tetapi juga di kota-kota lain, termasuk Jakarta.

Pascareformasi, Narso sempat hijrah ke Jakarta, dan sebagai duda menikah dengan Ciptaning yang kala itu janda, yang kini anggota FPDIP DPR RI. Namun setelah dikarunai dua anak, pernikahan mereka berakhir, dan pria kelahiran Solo tersebut pun kembali ke kota
kelahirannya.
***
Tatkala diuber-uber aparat keamanan, sekitar tahun 1997-1998, Narso beberapa kali bertemu saya di Solo. Pertemuan kami selalu terjadi pada malam hari, dan dia senantiasa bersama beberapa temannya sesama aktivis gerakan.

"Waktu itu kan nggak ada tempat yang aman buat kami. Saya selalu berpindah-pindah tempat ngumpet sambil menahan rasa takut dan khawatir ditangkap atau diculik antek-antek Soeharto,” jelas Narso.

Sampai kini, Narso masih getol menghujat Soeharto, yang menurutnya telah membangun sistem tak demokratis dan sangat represif, alias sistem diktator militerisme.  Menurutnya, meski Soeharto tak lagi berkuasa namun sisa-sisa kekuatan dan kekuasaan mantan presiden itu masih ada.

“Sisa Orba dan kroni-kroni Soeharto masih banyak. Mereka, sebagaimana halnya Soeharto sendiri, harus dimintai pertanggungjawaban. Masak sekarang beredar wacana Soeharto sebaiknya dimaafkan. Lha wong proses peradilannya belum jalan kok sudah mau dimaafkan,” gugatnya.

Karena itulah, Selasa (15/1) siang lalu, ia ikut memotori aksi unjuk rasa di Kantor Kejaksaan Negeri Solo. Dia dan kawan-kawan menuntut pihak kejaksaan meneruskan pernyataan sikap para pengunjuk rasa ke Kejaksaan Agung dan ke Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di Jakarta.

Intinya, Narso dan kawan-kawan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Kesejahteraan Rakyat (Amuk Rakyat) mendesak Kejaksaan Agung mencabut Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto. Juga, diadili secara in absentia (tanpa
kehadiran Soeharto di pengadilan).

“Selama ini kan lucu dan ironis. Soeharto belum pernah sampai ke pengadilan tapi malah muncul SKP3,” tegas Narso.

Dia yakin bahwa Wiji Thukul pasti juga sependapat dengan dirinya dalam menyikapi Soeharto, andai Thukul tak hilang. “Saya sangat kenal Thukul. Dia menjadi salah satu bagian pembentuk karakter saya. Dia menginspirasi saya,” kenang Narso.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com