Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membenahi Perusahaan Listrik Negara

Kompas.com - 10/01/2008, 19:31 WIB

Hanya sedikit perusahaan tambang yang memproduksi batu bara dengan spesifikasi itu. Dalam posisi membutuhkan, tentu sulit bagi PLN menegosiasikan harga yang pantas dengan perusahaan batu bara yang sanggup memasok untuk PLTU Tanjung Jati B. Harga dasar kontrak batu bara yang diteken tahun 2006 untuk PLTU Tanjung Jati B berkisar Rp 508.850 per ton.

Menambah cadangan bahan bakar juga kerap memunculkan persoalan karena akan berhadapan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, misalnya, dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan ditetapkan rata-rata stok untuk dua minggu. Penyediaan lebih berarti ada dana yang menganggur.

PLTU Tanjung Jati B dengan kebutuhan batu bara per unit pembangkit 5.000 ton per hari minimal perlu menyiapkan stok 300.000 ton dalam sebulan. Pilihan menambah stok lebih realistis ketimbang risiko yang harus ditanggung dengan membakar solar, karena pembangkit kehabisan batu bara.

Matinya dua unit PLTU Tanjung Jati B harus digantikan dengan menambah solar di pembangkit listrik lain. PLN harus mengeluarkan biaya BBM yang besarnya Rp 15 miliar per hari. Akibat lanjutannya tentu saja pemakaian BBM untuk pembangkit meningkat. Ujung-ujungnya, subsidi yang diberikan pemerintah tidak cukup dan perusahaan merugi.

Tahun 2007, dari target laba Rp 3 triliun, PLN diperkirakan bakal rugi Rp 1,51 triliun. Biaya pembelian BBM tahun 2007 mencapai Rp 45,97 triliun atau 43 persen dari total biaya usaha. Pemakaian BBM pada tahun 2007 mencapai 10,02 juta kiloliter, lebih tinggi dari sasaran yang sebesar 7,65 juta kiloliter.

Tambahan subsidi

Tahun ini, dengan patokan perkiraan rata-rata harga minyak 80 dollar AS per barrel, PLN memperkirakan biaya bahan bakar Rp 84 triliun. Sekitar Rp 64 triliun adalah biaya BBM. Dengan patokan subsidi listrik Rp 29 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008, dan janji tidak ada kenaikan tarif seperti yang dilontarkan pemerintah, PLN kembali bersiap meminta tambahan subsidi.

Selain lemah dalam perencanaan, PT PLN juga lemah dalam pengelolaan pembangkit. Hal itu terlihat dalam kasus rusaknya trafo di PLTU Suralaya Unit 5 yang berkapasitas 600 MW. Trafo tersebut rusak sejak Juni 2007. Akibatnya, sistem Jawa-Bali kehilangan daya sebesar 600 MW selama setengah tahun.

PLN tidak memiliki trafo cadangan sehingga harus menunggu 11 bulan untuk sebuah trafo baru. Dengan pertimbangan biaya dan waktu, PLN memilih memesan trafo ke China karena harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pabrikan Jepang atau Jerman. Rencananya PLTU Unit 5 Suralaya mulai uji coba operasi pada Mei 2008.

Bandingkan dengan PLTU Paiton yang dikelola swasta. Selain memiliki cadangan, pengelola PLTU Paiton mengasuransikan peralatan yang dimilikinya. Bagi pengelola listrik swasta, berhenti beroperasinya pembangkit merupakan kerugian bagi mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com