Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tumor, Perut Fitri Sebesar Buah Semangka

Kompas.com - 24/05/2011, 14:26 WIB

MAKASSAR, KOMPAS.com — Di usia yang baru dua tahun, Fitriani menanggung beban derita. Penyakit yang dia derita sejak lahir kini makin membenani perutnya. Penyakit tumor sebesar buah semangka membuat tubuh Fitriani kehilangan keseimbangan.

Kesulitan ekonomi pun menyebabkan penyembuhan Fitriani tersendat. Ia hanya bisa terbaring di rumahnya di Dusun La'nyara, Desa Moncongkomba, Kecamatan Polongbangkeng Selatan, Takalar.

Sekujur tubuhnya mulai mengalami kelumpuhan sejak satu tahun lalu. Untuk bangkit dari tempat tidur pun sulit bagi Fitriani. Tumor di dalam perut membuat Fitriani tak sanggup menahan beban badannya. Kian hari tubuhnya makin kurus dan kering. Suapan makanan sulit dicerna oleh organ tubuhnya.

Putri bungsu dari tiga bersaudara pasangan Daeng Bani dan Daeng Baji ini hanya bisa mengonsumsi makanan di atas tempat tidur dengan bantuan kedua orangtuanya. "Sedih hati saya melihat kondisi si kecil. Tersiksa, setiap malam tidak bisa tidur hanya meringis kesakitan. Tapi saya harus bagaimana? Makan pun sulit, apalagi biaya berobat," tutur Daeng Bani, ibunda Fitri, kepada wartawan, Senin (23/5/2011).

Dalam keadaan tak berdaya dengan ekonomi pas-pasan, Daeng berupaya mengobati putrinya. Penghasilan suaminya yang hanya seorang buruh tak cukup untuk biaya hidup, memaksanya bekerja sebagai tukang cuci dan berkebun.

Kadang ada bantuan ala kadarnya dari simpatisan, namun tetap, biaya operasi mengangkat tumor perut Fitriani tak bisa diharapkan. Saat dia membawa putrinya ke Rumah Sakit Wahidin, Makassar, biaya operasi mencapai Rp 10 juta.

"Kami sudah lima kali membawa ke puskesmas dan rumah sakit umum. Setelah mendapatkan perawatan dan pemeriksaan medis, anak saya ditetapkan menderita tumor abdomen dan dirujuk RS Labuang Baji. Ketika dirujuk lagi ke RS Wahidin, bukannya dioperasi, kami malah disuruh pulang," kata Daeng Baji sembari terisak.

Ketika anaknya disuruh pulang, kata Daeng Baji, dia sempat protes. Sebab, dia tahu seharusnya ada biaya gratis bagi keluarga miskin. "Administrasi banyak dan bertele-tele. Suruh urus kelengkapan, sementara saya ini kan buta huruf," tambahnya.

Sejak anaknya berusia delapan bulan, Daeng Baji mendatangi DPRD Kabupaten Takalar, namun hanya mendapat janji dan dianjurkan ke puskesmas terdekat. "Padahal, banyak anak yang lain lebih parah dari anak saya. Tapi anak saya tidak ditolong dengan alasan macam-macam lagi dari rumah sakit. Saya betul-betul bingung mau memohon ke mana selain Yang Mahakuasa. Jika memang derita anak saya panjang, biarkan dia kembali kepada Tuhan," ujarnya sambil terisak.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Takalar Sulaeman Rate Daeng Laja yang dihubungi secara terpisah mengaku sangat prihatin dengan kondisi yang dialami Fitriani. Dia juga merasa heran dengan adanya warga Takalar yang tidak bisa mendapat perawatan rumah sakit yang layak.

"Seharusnya tidak ada lagi masyarakat kita yang seperti ini karena sekarang sudah ada kesehatan gratis. Saya akan cek kebenarannya, apakah dia sudah melapor," jelas Sulaeman.

Sulaeman menambahkan, pemerintah dan dinas terkait harus serius memberikan pelayanan kepada masyarakat kurang mampu. Rumah sakit, kata dia, harus melayani dan melakukan perawatan medis terlebih dahulu. Setelah itu, baru diberi rujukan jika peralatan rumah sakit tidak memadai.

"Tidak ada alasan rumah sakit tidak melayani pasien Jamkesmas. Kalau tidak dilayani, berarti sia-sia anggaran kesehatan gratis dan anggaran kesehatan lainnya selama ini," ungkap Sulaeman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com