Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Devide Et Impera" atas Hubungan China-Jawa

Kompas.com - 19/09/2008, 09:11 WIB

JIKA ingin melihat akulturasi budaya menyejukkan yang bertahan hingga kini, tengoklah Lasem, sebuah kota kecil di Jawa Tengah dan juga Cirebon di Jawa Barat. Percampuran antarsuku, ras, hingga budaya memberi warna lain pada dua kota di pesisir pantai utara Jawa ini.

Batik dan bangunan khas yang dipengaruhi budaya Tionghoa masih bisa ditelusuri di kedua kota tersebut. Batik asal Cirebon terkenal dengan motif megamendung yang diyakini diperkenalkan oleh Ong Tian Nio, istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Negeri Campa (China). Di Lasem batik tradisional dengan warna khas merah merupakan perpaduan unsur budaya Jawa, Tionghoa, dan Belanda.

Bahkan, di Lasem hubungan Tionghoa-Jawa teramat cair. Penandanya adalah munculnya kongco (subyek pemujaan diposisikan sejajar dengan orang yang dihormati, leluhur, dan dewa-dewa di klenteng) Jawa, yaitu Panji Margono yang dihormati warga Tionghoa sampai saat ini.

Jeremy Wijaya, pengamat sejarah Tionghoa di Cirebon sekaligus penulis buku Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, mengatakan, hubungan etnis China dengan pribumi Jawa sejak ratusan tahun lampau sebenarnya terjalin harmonis.

Menurut Jeremy, bangsa Tionghoa masuk ke Cirebon diperkirakan pada abad ke-8 dengan ditandai berdirinya Klenteng Tiao Kak Sie di dekat Pelabuhan Cirebon saat ini. Gelombang kedatangan warga Tionghoa kedua terjadi pada abad ke-15, ditandai dengan terbentuknya kampung pecinan pada tahun 1415 yang didirikan oleh anak buah Laksamana Cheng Ho yang singgah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

”Sejak itu percampuran budaya sudah ada dan berkembang karena terjadi perkawinan silang ataupun hubungan sosial lainnya. Salah seorang panglima anak buah Laksamana Cheng Ho adalah Muslim Tionghoa yang dikenal dengan nama Wai Ping atau Kung Wu Ping. Beliau diyakini giat dalam kegiatan syiar agama Islam di Cirebon,” kata Jeremy.

Bibit pecah-belah

Namun, bibit perpecahan dan perseteruan muncul ketika Belanda meniupkan politik pecah belah (devide et impera) dengan tujuan agar tidak ada persatuan di antara kedua etnis yang diyakini bakal membahayakan kedudukan imperialis Belanda kala itu di nusantara.

”Adu domba ini terlihat sekali dari pembagian tugas. Pekerjaan yang enak-enak diserahkan kepada orang Tionghoa, sedangkan orang-orang Jawa dapat tugas berat,” kata Njo Tjoen Hian (79), tokoh Tionghoa Lasem yang memiliki nama Indonesia Sigit Witjaksono.

Penelusuran Peter Carey, yang dituangkan dalam bukunya berjudul Orang China, Bandar Candu Tol, Candu, dan Perang Jawa (2008), memberi penekanan memburuknya hubungan Tionghoa-Jawa didorong pula posisi Tionghoa yang memegang cukai (pacht) candu dan jalan tol. Pacht jalan tol yang diserahkan VOC kepada sejumlah warga Tionghoa menyengsarakan rakyat karena membuat biaya perjalanan dan pengangkutan menggelembung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com