MAGELANG, KOMPAS.com – Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tidar (Untidar) Magelang, Jaduk Gilang Pembayun mengkritisi rencana revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah digodok oleh DPR.
Ada tiga poin dalam draf RUU Penyiaran yang menjadi sorotan, yakni larangan penayangan konten eksklusif investigasi jurnalistik, tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) serta pasal multitafsir yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dalam RUU Penyiaran, Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menyebutkan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi termasuk dalam larangan Standar Isi Siaran (SIS).
Baca juga: Doxing, Ancaman bagi Pers di Era Digital
Jaduk menilai, jurnalisme investigasi memiliki peranan dalam memantau kekuasaan.
Dia mencontohkan, melalui karya investigasi, media mampu mengungkap praktik lembaga pemasyarakatan yang memberikan fasilitas mewah kepada narapidana koruptor atau tragedi Kanjuruhan.
“Walaupun masih rancangan, dan biasanya hanya digunakan untuk menakar respons masyarakat, jika ada larangan mengenai konten investigasi, hal tersebut bisa membuktikan bahwa ada upaya membatasi gerak-gerik pers,” jelasnya dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Kamis (16/5/2024).
Baca juga: Hari Pers Nasional, Mungkinkah Pekerja Media Akan Tergantikan oleh AI?
Baca juga: Mengenang Joserizal Jurnalis, Dokter Pendiri MER-C Penembus Wilayah Konflik
Selain soal pelarangan investigasi jurnalistik, Jaduk juga menyoroti Pasal 25 ayat 1 RUU yang menyebutkan sengketa pers diurusi KPI.
Menurutnya, hal ini akan tumpang tindih dengan kewenangan Dewan Pers.
Terlebih, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 42 menyebutkan, wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kita, kan, belum tahu apakah KPI tetap menggunakan kode etik jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik,” cetusnya.
Baca juga: Sepak Terjang Ruhana Kuddus, Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019
Jaduk juga mempersoalkan Pasal 56 RUU Penyiaran ihwal kebencian, fitnah, pencemaran nama baik.
“Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya,” terang dia.
Jaduk meminta kepada media untuk mengawasi kebijakan pemerintah agar tak menyalahgunakan kekuasaan mereka.
“Jangan sampai DPR, dalam hal ini Komisi I yang sedang melakukan RUU Penyiaran, menyalahgunakan kekuasaan mereka,” tandas dia.
Baca juga: Mengenal Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.