SEMARANG, KOMPAS.com - Gelombang aksi dari sivitas akademika terus mengalir menyikapi pelanggaran etika dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang Pilpres 2024.
Sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa dari Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) turut menyuarakan hal yang sama pada hari ini, Rabu (7/2/2024).
Guru Besar Undip, Muhammad Nur bersama kurang lebih 60 peserta aksi membacakan pernyataan sikap itu di Taman Inspirasi Undip pada pukul 09.15 WIB.
Baca juga: Penjelasan Rektorat UGM soal Petisi Bulaksumur dan Absennya Rektor
Sikap ini sebagai respons perkembangan konstelasi politik nasional jelang Pemilu/Pilres 2024, terlebih sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 90/PUU-XXI/2023 dan diikuti oleh pelanggaran etika oleh Ketua dan Komisioner KPU.
"Tentunya hari ini, sorot pasang mata kita melihat bagaimana nilai-nilai kehidupan berdemokrasi kita dilucuti secara terang-terangan, serta kerusakan terhadap etika dan moral dalam kehidupan berdemokrasi telah mencapai titik nadir," kata Nur di sela-sela aksi.
Guru Besar Fakultas Sains dan Matematika Undip itu mengecam pemerintahan Jokowi yang sengaja menjadikan hukum untuk mencapai tujuan kekuasaan semata dan bukan untuk kepentingan negara.
"Kami menyerukan kepada pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia untuk kembali mengawal pembumian terhadap etika moral, guna menyelamatkannya dari potensi kerusakan yang lebih parah," lanjutnya.
Selang satu jam berikutnya, giliran guru besar, dosen, dan mahasiswa di Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyuarakan soal permasalahan yang sama.
Issy Yuliasri, mewakili guru besar, dosen dan mahasiswa yang hadir dalam aksi tersebut mengatakan, demokrasi Indonesia saat ini terancam oleh belokan otoritarianisme baru atas nama hukum.
"Cita-cita demokrasi untuk menciptakan negara demokratis, kebebasan berekpresi dan supremasi hukum tergerus oleh perilaku oleh kekuasaan oligarki," kata dia.
Baca juga: Soal Pelanggaran Etik KPU dan MK, Ganjar Pranowo: Sebuah Catatan Hitam dalam Sejarah Pemilu Kita
Kondisi tersebut kemudian semakin diperparah dengan lunturnya keteladanan Presiden Jokowi tidak bersikap netral di gelaran pemilu 2024.
"Malah menunjukkan gestur-gestur yang memihak," paparnya.
Menurutnya, penyelenggara negara semakin terbiasa mengeksploitasi simbol-simbol populisme guna mendapatkan legitimasi publik sesaat.
"Yang sejatinya mengaburkan hakikat demokrasi," bebernya.
Baca juga: Respons Gibran atas Gugatan Wanprestasi Almas Tsaqibirru di PN Solo
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.