KOMPAS.com - Tanah Papua tak bisa dilepaskan dari Suku Asmat yang menjadi suku terbesar di provinsi paling timur Indonesia.
Legenda menceritakan, masyarakat Suku Asmat adalah titisan seorang dewa yang bernama Fumeripitsy.
Dikutip dari Indonesiakaya.com, pasa masa lalu, sang dewa turun ke bumi dan memulai petualangannya dari ufuk barat matahari terbenam.
Di perjalanannya, Dewa Fumerispitsy berhadapan dengan seekor buaya raksasa. Mereka bertarung dan Fumerispitsy berhasil mengalahkannya.
Baca juga: Suku Asmat dan Legenda Patung Bernyawa
Sang Dewa terluka parah dan terdampar di sebuah tepian sungai.
Di tengah kesakitannya, Sang Dewa berusaha bertahan hingga ia bertemu seekor burung flaminggo yang baik dan merawat luka Sang Dewa hingga sembuh.
Setelah sembuh, Sang Dewa tinggal di di wilayah tepian sungai dan membuat sebuah rumah untuk tinggal.
Ia juga mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat genderang dengan suara yang nyaring.
Baca juga: Danau Sentani dan Legenda Penunggang Naga di Papua
Gendang itu ia gunakan untuk mengiringinya menari tanpa henti. Begitu dahsyatnya suara genderang hingga kedua patung yang diukir oleh Fumerispitsy menjadi hidup.
Dua patung tersebut kemudian ikut menari mengikuti gerakan Sang Dewa yang menabuh genderan.
Konon, kedua patung itulah pasangan manusia pertama yang menjadi nenek moyang Suku Asmat di Tanah Papua.
Mitologi di atas hidup di kalangan masyarakat Suku Asmat.
Mereka memiliki sistem kepercayaan serta adat istiadat yang menarik hingg mengundang para peneliti dari seluruh penjuru dunia berkunjung ke kampung Suku Asmat.
Baca juga: Bukan Sekedar Tas, Noken adalah Lambang Kedewasaan Wanita Papua, Harganya Capai Rp 12 Juta