Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adonara dan Sebuah Kisah Perang Tanding

Kompas.com - 20/11/2012, 22:31 WIB

Oleh Laurensius Molan

Kisah perang tanding antara suku Lewonara dan Lewobunga di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, masih mengihiasi halaman depan sejumlah media cetak lokal yang terbit di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kisah perang tanding antara dua suku bersaudara di wilayah Kecamatan Adonara Timur itu berawal dari klaim kepemilikan tanah ulayat yang selama ini ditempati warga dari suku Lewobunga.

Suku Lewonara tetap mengklaim bahwa lahan yang ditempati suku Lewobunga untuk membangun pemukiman dan berladang adalah milik mereka. Klaim tersebut tidak diterima oleh warga suku Lewobunga.

Bagaimana untuk membuktikan kebenaran hak kepemilikan tanah tersebut? Jalan yang ditempuh untuk mencari kebenaran adalah melalui pertumpahan darah. Maka bergolaklah perang tanding antara kedua suku tersebut dari awal Oktober dan masih terus berlangsung hingga saat ini.

Perang tanding antara kedua suku di Adonara tersebut, tidak menggunakan strategi perang gerilya atau perang modern, tetapi langsung ke arena yang telah disepakati sebagai lokasi perang tanding. Mereka sendirilah yang menentukan hari dan tanggal untuk bertarung di arena yang ditentukan tersebut.

Kedua belah pihak membawa senjatanya masing-masing, seperti parang, tombak serta anak panah. Siapa yang lebih dahulu melepaskan anak panah dari busurnya maka hal itu sebagai isyarat bahwa perang segera dimulai.

Seorang misionaris asal Belanda Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island).

Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara".

Lamber Mean Tokan, salah seorang putra Adonara yang juga staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nusa Cendana Kupang mengamini pandangan yang dikemukakan Ernst Vatter tersebut.

"Vatter melihat langsung apa yang terjadi pada saat itu di Pulau Adonara. Dan, sampai sekarang masih juga terjadi. Ini sebuah kisah nyata yang meligitimasi Adonara sebagai Pulau Pembunuh," katanya.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang juga putra asli Adonara dengan tegas mengatakan "Apa yang kita banggakan dengan sebutan Adonara sebagai Pulau Pembunuh?".

"Kita sudah berada pada zaman berbeda, sehingga semua persoalan yang terjadi tidak harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Perang tanding antara suku Lewonara dan Lewobunga harus segera diakhiri," katanya menegaskan.

Gubernur Lebu Raya kemudian menunjuk dan mengutus beberapa tokoh Adonara yang ada di Kupang untuk memediasi kedua belah pihak yang sedang bertikai.

Tim mediasi dari Kupang tersebut dipandang sukses dalam menjalankan misinya, karena berhasil mempertemukan kedua belah pihak untuk melakukan genjatan senjata.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com