Jakarta, Kompas -
”Unjuk rasa akhir-akhir ini bukan hanya masalah BBM,” tutur Komaruddin. Unjuk rasa di berbagai daerah itu sebenarnya juga menunjukkan kekecewaan rakyat pada kinerja pemerintah dan partai politik saat ini.
Oleh sebab itu, kata Komaruddin, jika pemerintah dan DPR menyetujui tak menaikkan harga BBM saat ini, persoalan rakyat belum tentu selesai. Masalah rakyat itu terkait dengan keterbatasan lapangan kerja, buruknya pelayanan masyarakat, dan pemberantasan korupsi.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia di Jakarta, Jumat, menilai, politikus di DPR cuci tangan apabila menolak kenaikan harga BBM bersubsidi kali ini. Politikus di DPR itu akhirnya menolak kenaikan harga BBM setelah melihat berbagai unjuk rasa dari masyarakat, baik mahasiswa maupun buruh, yang menolak kenaikan harga BBM.
”Kalau mau menolak, mengapa tak sejak awal,” katanya. Menurut Alvon, jika politikus ingin menolak kenaikan harga BBM, mereka bisa menyampaikan argumen dan alternatif solusi kepada masyarakat dan pemerintah sejak awal. Sikap politikus di parlemen itu juga adalah suatu uji coba terhadap rakyat.
”Mereka mau melihat dahulu reaksi masyarakat. Ini sikap yang tak elegan dan ksatria,” katanya.
Ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin meminta Dewan tak mempermainkan rakyat dengan mengatakan menyerahkan keputusan untuk menetapkan harga BBM kepada pemerintah. DPR harus berani mengambil keputusan menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM.
”Percuma rakyat memilih wakilnya di DPR bila ternyata daulat rakyat digadaikan ke pemerintah,” katanya. Jika diserahkan kepada pemerintah, yang rugi adalah Presiden.