JAKARTA, KOMPAS.com - Para aktivis HAM serta Letjen (Purn) Saurip Kadi, Bambang Widodo Umar, dan perwakilan masyarakat Sodong menyatakan perihatin dengan kekerasan yang berkepanjangan terhadap warga sipil disekitar Sodong dan Mesuji, Sumatera Selatan dan Lampung.
Para aktivis itu berasal dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Institute for Defense and Peace Studies (IDSPS).
Kordinator Kontras, Haris Azhar, dalam jumpa pers bersama para aktivis, Jumat (16/12/2011) di Jakarta, mengungkapkan, 32 warga meninggal dan puluhan menjadi korban kekerasan dalam bentuk lainnya.
"Kekerasan yang terjadi di Sodong dan Mesuji adalah akibat dari pengelolaan bisnis sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat. Bisnis yang dilakukan adalah kerja sama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan sejak 1997 oleh yang dilakukakan oleh PT Treekreasi Margamulya (TM/Sumber Wangi Alam).
Kekerasan meningkat, ketika PT SWA menolak mengembalikan lahan kepada masyarakat, dalam kurun waktu 2 tahun terakhir," ujar Haris.
Menurut dia, praktik kekerasan banyak dilakukan oleh polisi dan Pam Swakarsa. Pam swakarsa adalah pasukan yang terdiri atas warga sipil di luar warga Sodong, dan dipersenjatai dengan Golok/Pisau besar.
Keduanya, polisi dan pam swakarsa, terlibat dalam praktek teror dan kekerasan terhadap warga, yang menuntut tanahnya dikembalikan dari PT SWA.
Namun warga sipil dianggap melakukan tindakan kriminal dan sering dijadikan target kekerasan. Seperti pada bulan April 2011, saat 2 warga dan 5 pam swakarsa/pekerja perkebunan tewas.
"Kami mengapresiasi upaya dan respon pemerintah dalam kasus ini. Namun respon itu harus memperhatikan sejumlah hal, yakni sebaiknya penyelidikan dilakukan Komnas HAM. Hal ini dikarenakan Komnas HAM sudah memiliki mandat kerja dan kerangka kerja investigasi pelanggaran HAM," kata Haris.
Sementara investigasi oleh Menkopolhukam dan Mabes Polri tidak diketahui kerangka kerjanya.
Komnas HAM dengan kerangka kerjanya bisa mencari tahu tanggung jawab pidana individual, mulai dari pelaku lapangan hingga otak pelakunya, tak terkecuali dari pihak perusahaan," kata Haris.
Haris mendesak, harus ada laporan pertanggungjawaban pascakerja pencarian fakta, khususnya kepada publik, terkait metode kerja mereka dengan mempertimbangkan kerahasian yang diperlukan dalam upaya penegakan hukum atau perlindungan saksi/korban.
Ke depan diharapkan pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan yang mengancam eksistensi warga sipil tidak terulang. Selain itu, ada solusi bagi warga sipil yang kerap dipaksa dipinggirkan oleh kepentingan usaha bisnis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.