Jakarta, Kompas -
Demikian disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman saat peluncuran buku
Setelah diisi dengan pidato Ketua MPR Taufiq Kiemas, acara dilanjutkan dengan bedah buku oleh Franz Magnis-Suseno, Dawam Rahardjo (intelektual), Taufik Abdullah (sejarawan), Kwik Kian Gie (ekonom), dan Masdar Mas’udi (tokoh Nahdlatul Ulama).
Irman menuturkan, menurut Indeks Demokrasi Global yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit tahun 2010, Indeks Demokrasi Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 167 negara dengan skor 6,53.
Peringkat Indonesia masih di bawah China yang berada di urutan ke-36, Afrika Selatan (ke-30), Thailand (ke-57), Papua Niugini (ke-59), dan bahkan Timor Leste (ke-42).
Menurut Irman, masih rendahnya peringkat Indonesia disebabkan masih lemahnya variabel-variabel demokrasi seperti pemilu, pluralisme yang belum menghargai kebebasan dalam memilih agama dan keyakinan, sistem parlemen yang belum jelas, serta fungsi pemerintahan yang masih sarat dengan praktik korupsi.
Sementara itu Franz Magnis-Suseno menuturkan, oportunis dan kepicikan jadi ancaman utama kebangsaan saat ini.
”Oportunisme melihat kehidupan sendiri sebagai peluang untuk maju sendiri, menjamin eksistensi sendiri. Kepicikan, terutama yang terfokus pada salah satu ideologi atau salah satu unsur yang tidak dimiliki seluruh bangsa, membuat sulit menghargai pluralisme,” ucap Magnis.
Magnis menambahkan bahwa kebangsaan, sebagai sesuatu yang dirasakan dalam hati, tidak mungkin terjadi jika masih terkungkung dalam kepicikan-kepicikan.
Sementara itu Taufiq Kiemas mengatakan, Yudi Latif dalam bukunya menegaskan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang paling sesuai bagi bangsa Indonesia dan yang paling sesuai dengan segala keberagamannya.
Akan tetapi Dawam Rahardjo menyatakan, setelah era reformasi, ada kesan Pancasila dilupakan. Padahal, Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri. (NWO)