Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisnis Berelasi dengan Politik

Kompas.com - 30/03/2011, 03:37 WIB

Jakarta, Kompas - Relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Kesimpulan ini diambil dari riset Indonesia Corruption Watch.

Hasil riset ”Pemetaan Kepentingan Bisnis Politik di Daerah” oleh ICW di empat daerah menunjukkan pola yang sama, relasi penguasa dengan kelompok bisnis menjadi fondasi kuat terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

ICW melakukan riset di empat kota, yaitu Semarang (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), Samarinda (Kalimantan Timur), dan Muna (Sulawesi Tenggara), dengan menggunakan metode kualitatif. Menurut peneliti ICW, Ade Irawan, di Jakarta, Selasa (29/3), pemilihan keempat kota ini dilatarbelakangi oleh sektor unggulan setiap daerah.

Donasi dari kelompok bisnis kepada politisi atau penguasa tidak pernah gratis. Konsesinya bisa berupa proyek atau lisensi tertentu,” ujar peneliti ICW, Abdullah Dahlan.

Abdullah mencontohkan, di Semarang, wali kota membuat peraturan daerah tentang parkir tepi jalan, yang berdasarkan temuan ICW ternyata menguntungkan salah satu pengusaha yang menjadi tim sukses wali kota. Bahkan, menurut Abdullah, wali kota kemudian tak lagi memerlukan dukungan politik tetap dari partai politik ketika memiliki anggaran besar untuk memenangi pilkada. ”Terbukti pada periode pertama dia maju dengan perahu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, kemudian pada periode keduanya dia meloncat ke Partai Demokrat” tuturnya.

Dalam kasus Samarinda, menurut Abdullah, relasi terbangun ketika wali kota disokong oleh pengusaha batu bara dan sebagai balasannya adalah terbitnya izin konsesi pertambangan.

Sementara itu, di Sukabumi, menurut Ade, sebagai wilayah dengan potensi sumber daya air besar yang dieksploitasi menjadi sumber air minum dalam kemasan, pola relasi yang terjadi antara pengusaha minuman kemasan dan kepala daerah. ”Antara lain dalam bentuk sumbangan yang diberikan pengusaha kepada kepala daerah yang berkuasa,” ujar Ade.

Kasus di Muna lebih spesifik karena daerah ini tak mengandalkan dana alokasi umum dari pemerintah pusat. ”Maka di Muna, terjadi konflik kepentingan antara penguasa dan pengusaha dalam kasus-kasus pengadaan barang dan jasa. Penguasa menempatkan kerabatnya sebagai pejabat lelang atau perencana kebijakan,” tutur Abdullah.

Menurut Abdullah, di tingkat nasional relasi bisnis dengan politik tergambar dalam latar belakang anggota DPR. Dari data ICW, 44,6 persen dari total anggota DPR berlatar belakang pengusaha. ”Kasus Azidin dengan katering haji, kasus Bulyan Royan dan Al Amin Nasution membuktikan itu,” kata Abdullah. (BIL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com