Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Janji Manis di Tambaklorok

Kompas.com - 22/11/2010, 05:51 WIB

Abdul Kalim (65) sibuk memaku kayu yang menopang rangka bangunan di Tempat Pelelangan Ikan Tambaklorok di Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Minggu (21/11). Kondisi pelelangan itu sungguh mengenaskan dengan bangunan kumuh dan lantai digenangi air.

Hal itu pula yang dijadikan alasan Pemerintah Kota Semarang pada 2004 membangun Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tambaklorok, sekitar 500 meter ke arah timur tempat pelelangan ikan (TPI) itu. Namun, toh tak ada perubahan. TPI makin hancur, sedangkan PPI perlahan ”membusuk” tanpa manfaat.

”Siapa yang mau ke PPI. Kalau mau merapat bakal langsung disapu ombak. Bisa-bisa perahu hancur,” ujar Abdul yang ingat betul pada awal pembangunan, pemerintah menjanjikan banyak hal, termasuk membuat pemecah gelombang di PPI itu.

Dalam paparan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang disebutkan PPI akan meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan ekspor, mendaratkan 50 ton ikan per hari, dalam jangka panjang untuk mendarat 15-20 kapal berkapasitas tangkap 15 ton per kapal. Selain itu, menciptakan pelabuhan ikan bersih dan higienis.

Realitanya? Pendapatan nelayan tak naik, malah berkurang seiring turunnya hasil tangkapan. Lapangan kerja baru? Nol. Kapal mendarat? Tak ada satu pun. Yang ”merapat” hanya orang pacaran sejak pembangunan PPI itu rampung tahun 2004 dan diresmikan Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip tahun 2007.

Soal pelabuhan bersih dan higienis? Cobalah tengok kondisinya kini. Genangan air masuk hingga kantor PPI, atap bocor, rangka atap berkarat. Bahkan, kini dijadikan lokasi pembuangan lumpur hasil pengerukan sedimentasi Kali Banger.

Padahal, pembangunan fisik PPI itu menyedot Rp 5,83 miliar dari pemerintah pusat. Pemkot Semarang menggelontorkan Rp 659.856.000 untuk studi kelayakan, amdal, serta konsultan pengawasan pembangunan.

Sungguh ironi karena uang Rp 6,4 miliar tidak sedikit, terlebih dengan ukuran enam tahun lalu. Sebagai gambaran, harga emas ketika itu Rp 90.000 per gram, kini mendekati Rp 400.000 per gram.

”Itu pemborosan uang negara. Uang itu dari rakyat dan seharusnya menjadi proyek bermanfaat,” ujar Eko Haryanto, Sekretaris Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Jawa Tengah.

Eko menilai mangkraknya proyek pemerintah bisa menjadi indikasi korupsi, kolusi, atau nepotisme. Dia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menyelidiki kasus ini. Menurut dia, proyek itu sejak awal dipaksakan kendati muncul penolakan dari berbagai pihak.

”Perlu efek jera jangan sampai terulang karena cukup banyak proyek mercusuar yang mangkrak,” ujarnya.

Menurut pakar Kepelabuhan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang Abdul Rosyid, dari awal pihaknya mengingatkan PPI itu tak layak. Dari sisi lahan, misalnya, tanah di PPI itu milik PT Pelindo III. Pemkot meminjam lahan itu untuk 15 tahun, terlalu pendek untuk pelabuhan. (antony lee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com