Padang, Kompas -
”Tenaga penyuluh itu tidak ada di lapangan, tidak ada peran penyuluh yang mencoba menyuruh pemilik keramba. Jadi apa yang dilakukan hanyalah mencontoh apa yang dilakukan pengelola keramba sebelumnya,” kata ahli perikanan Universitas Bung Hatta, Padang, Prof Hafrijal Syandri, Selasa (9/11) di Padang.
Menurut dia, peran penyuluh sangat penting untuk memberitahukan tentang prinsip pembudidayaan ikan dalam keramba jaring apung, misalnya zonasi pembudidayaan, kepadatan tebaran benih ikan, waktu pemeliharaan, dan tata cara pemberian pakan. Semuanya bermuara pada daya dukung Danau Maninjau untuk budidaya ikan nila dan mas dalam keramba jaring apung.
Budidaya ikan nila dan mas dalam keramba jaring apung di danau itu sejak 1992. Matinya ikan secara massal sudah terjadi pada 1997. Pada tahun 2000, sebagian permukaan danau itu berubah menjadi hijau karena ledakan populasi fitoplankton disusul pertengahan Maret lalu. Penyebabnya relatif sama, mengakibatkan tak kurang dari 100 ton ikan mati dan pada Januari 2009 sekitar 13.000 ton ikan mati.
Kematian ikan dipicu kurangnya oksigen di permukaan akibat naiknya konsentrasi kandungan dalam pakan ikan pada keramba jaring apung, seperti fosfor, belerang, nitrit, dan nitrogen. Kasus itu lalu terjadi pada tahun-tahun berikutnya, termasuk saat ini.
Hingga kini, sekitar 2.000 ton ikan mas dan nila mati dalam keramba di Danau Maninjau. Saat ini sekitar 375 ton pakan jadi residu dan teraduk-aduk naik ke permukaan menjadi racun serta menurunkan kadar oksigen.
”Perhitungannya dalam setiap ton daging ikan butuh 1,25 ton pakan,” kata Hafrijal yang juga Rektor Universitas Bung Hatta.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar Yosmeri mengaku, pihaknya belum menyediakan bantuan untuk pemilik dan pengelola keramba jaring apung. ”Kami tak ada alokasi tanggap darurat,” katanya.