MEDAN, KOMPAS.com - Ratusan alat tangkap ikan sejenis pukat harimau (trawl) diperkirakan masih beroperasi di perairan Tanjung Balai Asahan, Sumut, sehingga meresahkan nelayan kecil di daerah itu.
"Keberadaan alat tangkap itu mengakibatkan berkurangnya pendapatan nelayan," kata Sekretaris HNSI Sumut Ihya Ulumuddin di Medan, Rabu (6/1/2010).
Untuk itu, menurut dia, kapal ikan yang masih menggunakan alat tangkap ilegal yang dilarang pemerintah itu perlu ditertibkan dan diamankan.
Selanjutnya, nelayan dan pengusaha yang menggunakan alat tangkap itu harus diproses secara hukum untuk efek jera. "Penertiban kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat harimau sudah saatnya dilakukan. Aparat keamanan di laut harus melakukan razia setiap saat untuk membersihkan alat tangkap itu," ujar Ulumuddin.
Ia mengatakan, beroperasinya alat tangkap itu tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga merusak sumber daya hayati di laut dan lingkungaan hidup.
Penggunaan alat tangkap pukat harimau itu juga dilarang berdasarkan Keppres No 39 Tahun 1980 dan UU No 31 Tahun 2004 tentang Pengelolan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan.
Berdasarkan ketentuan itu, kapal nelayan yang menggunakan pukat harimau dapat diancam hukuman lima tahun penjara atau denda sebesar Rp 1,2 miliar. "Jadi sudah seharusnya alat tangkap yang berbahaya dan menimbulkan kerusakan lingkungan itu dimusnahkan," tegasnya.
Ulumuddin mengatakan, pukat harimau tidak hanya beroprasi di perairan Tanjung Balai dan Asahan, melainkan juga di perairan Langkat, Sibolga/Tapanuli Tengah dan perairan Nias. "Namun yang paling banyak adalah di perairan Tanjung Balai dan Asahan yang berbatasan dengan perairan Selat Malaka," katanya.