Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PLTN Muria Dan Problem Keseimbangan

Kompas.com - 19/08/2009, 15:59 WIB

Oleh M Abdullah Badri

Lama tak tersiar kabar, bukan berarti rencana Pembangunan Listrik Tenaga Nuklir Balong, Semenanjung Muria Jepara, berhenti. Proyek yang dimotori Badan Tenaga Atom Nasional itu, pada tahun 2007 sempat menjadi isu nasional, bahkan internasional. Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Cabang Jepara bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap rencana tersebut. Alasannya, mudarat yang ditimbulkan lebih terang daripada manfaat yang bisa diambil.

Meski rencana tersebut menurut pemerintah dimaksudkan sebagai langkah mengatasi krisis energi yang akan terjadi pada 2025, toh demikian reaksi warga terhadap rencana pembangunannya, ketika itu, masih tegas menolak. Bahkan, ketika penulis berkunjung ke sana, terpampang banyak spanduk di jalan-jalan setapak kampung yang menyatakan penolakan keras. ”Hidup Mati Warga Balong Tolak PLTN,” demikian salah satu bunyi spanduk itu. Apakah penolakan itu masih terdengar nyaring?

Setelah tidak diekspos media secara besar-besaran selama kurang lebih dua tahun, penolakan rencana seperti ditelan bumi. Bahkan, beberapa waktu lalu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) Kusmayanto Kadiman menegaskan bahwa tak ada perubahan dalam rencana pembangunan PLTN Muria. Megaproyek yang mengacu pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) itu bahkan ditargetkan beroperasi pada 2016.

Informasi tersebut berbeda dengan kabar yang saya terima dari seorang sarjana nuklir dari Jepara. Dia pernah mengatakan kepada saya bahwa setelah mendengar penolakan PLTN dari warga Balong, yang berbuntut pada keluarnya fatwa haram PLTN dari LBM NU Cabang Jepara, presiden memutuskan untuk menunda keputusan jalan dan tidaknya PLTN Muria hingga 2015.

Secara ideal, PLTN adalah perwujudan dari mimpi untuk membangun bangsa. Kita yakin pemerintah mencanangkan program itu untuk kepentingan rakyat banyak. Sumber energi yang diprediksi menelan biaya hingga Rp12 triliun itu rencananya dibangun dengan kekuatan hingga 6.000 mega watt (MW). Siapa pun akan mendukung rencana mulia itu.

Namun, dalam praktik, untuk mendapatkan dukungan itu harus melewati negosiasi agar tercapai apa yang disebut kesetimbangan sosial dan kultural. Terjadinya penolakan tegas dari warga Balong karena belum adanya kesetimbangan kepentingan bersama.

Tiga kesetimbangan

Warga yang daerahnya dijadikan lokasi proyek merasa khawatir akan bahaya PLTN sebagaimana kecelakaan yang terjadi di Chernobyl, Ukraina, 25 April 1986, yang menewaskan ratusan korban. Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa PLTN yang akan dibangun itu berbeda dengan yang dulu ada di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Jelas tidak akan terjadi kesetimbangan sosial, manakala mekanisme yang ditempuh adalah petak umpet, sembunyi-sembunyi.

Ketika penulis berkunjung ke Balong, banyak warga yang pada awalnya mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan PLTN, padahal bangunan untuk melakukan kegiatan penelitian proyek tersebut sudah berdiri kokoh. Mereka mengetahui rencana tersebut setelah ada wartawan asing yang datang meliput ke desa. Jika cara ini yang ditempuh, jelas tidak akan menemukan kesetimbangan sosial, justru keriuhan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com