Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembukaan HTI Ancam PLTKA

Kompas.com - 18/08/2008, 18:57 WIB

JAMBI, SENIN-Pembukaan hutan tanaman industri atau HTI mengancam ketersediaan air bagi Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Warga menolak pembukaan perkebunan jenis tanaman monokultur secara besar-besaran karena dipastikan menurunkan fungsi hutan sebagai wilayah resapan air.

Sekretaris Desa Lubuk Beringin, Asroruddin menyatakan, dalam beberapa tahun terakhir banyak perusahaan perkebunan sawit yang mengajukan permohonan pembukaan lahan di kebun karet warga. Namun warga menolaknya demi menjaga debit air sungai. 

Pembukaan lahan sawit sudah terjadi di desa-desa tetangga. Ini jelas mempengaruhi debit air yang menjadi sumber pengge rak PLTA kami, ujar Asroruddin. Keberadaan PLTA di Lubuk Beringin menjadi inspirasi bagi desa-desa sekitar untuk membuat PLTA secara swadaya.

Penolakan juga terjadi di di sejumlah desa penyangga TNKS seperti di Senamat Ulu dan Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III, Kabupaten Bungo, serta Ngaol di Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi. Di Desa Lubuk Beringin dan Desa Senamat setidaknya memiliki sembilan unit PLTA yang menggunakan kincir air. Sedangkan Desa Ngaol memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) berkapasitas 50.000 watt. 

Ada dua daerah yang menjadi wilayah tangkapan air , yakni TNKS dan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Kerusakan hutan di TNKS membuat debit air sungai yang melintasi Desa Lubuk Beringin terus menurun.

Tiga bulan terakhir debit air sungai terus menurun. Pada musim kemarau tahun lalu tidak separah seperti ini. Daya listrik yang dihasilkan oleh PLTA kami sekarang sudah tidak mampu lagi untuk menyalakan televisi, ujar dia. Untuk menjaga kondisi lingkungan, perluasan kebun karet di Desa Lubuk Beringin hanya boleh dilakukan di lahan tidur.

Kepala Desa Ngaol , Syamsu menyatakan , warga desa sudah membuat kesepakatan untuk menolak masuknya perusahaan perkebunan. Desa Ngaol kini juga telah memiliki hutan adat seluas 1500 hektar yang dikuatkan dalam peraturan desa. Kayu di dalam hutan adat dapat digunakan untuk bangunan desa yang berfungsi sosial. Namun bila digunakan untuk kepentingan pribadi, warga desa wajib menanam bibit pohon sebagai pengganti kayu yang digunakan.

"Sungai di desa kami sangat penting untuk dijaga karena kalau sampai airnya mongering, desa kami akan kembali seperti zaman dulu, gelap gulita tidak ada listrik," ujar Syamsu. (ITA)  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com