Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kiai Pondok Pesantren Pancasila: Ide Khilafah Harus Dilarang

Kompas.com - 01/06/2017, 14:38 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

SALATIGA, KOMPAS.com - Belakangan ini muncul kelompok yang hendak mengganti Pancasila dan NKRI dengan sistem khilafah. Alih-alih menarik simpati dari masyarakat, kalangan umat muslim sendiri jelas-jelas menolak gagasan ini dan menentangnya dengan tegas.

Salah satunya dari pendiri Pondok Pesantren Pancasila Salatiga, Kiai Muhlasin (59). Menurut Muhlasin, bentuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 merupakan keputusan final para pendiri negara ini.

Adanya kelompok yang hendak mengganti dasar negara, menurutnya, karena masyarakat Indonesia sudah banyak yang melupakan sejarah.

"Perjuangan merebut kemerdekaan republik ini panjang, dengan darah, harta dan nyawa. Nenek moyangnya tidak pernah panggul senjata, kok enak saja masuk rumah orang mau impor paham ke Indonesia," kata Kiai Muhlasin, Selasa (30/5/2017) kemarin.

Baca juga: Belajar Hidup Toleransi dari "Desa Pancasila" di Lamongan

Kiai Muhlasin mengungkapkan, bukan tanpa alasan dirinya mengatakan hal itu, sebab ayahnya, KH Abdurrohim adalah Komandan Banser Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang yang pernah bersinggungan dengan peristiwa G30 S/PKI.

Sedangkan kakeknya, Kiai Raden Affandi adalah salah satu pelaku sejarah melawan tentara sekutu dalam peristiwa Palagan Ambarawa.

"Kakek saya ikut menggempur Benteng Ambarawa waktu itu," imbuhnya.

Para pendiri negara ini, menurut Kiai Muhlasin, sudah menyepakati bentuk negara dan sistem pemerintahan yang mengakomodasi seluruh kelompok, golongan dan semua agama yang ada di Indonesia.

"Kalau NU dan Muhammadiyah karena bagian dari republik ini, sehingga dari nenek moyangnya hingga sekarang tetap dalam bingkai NKRI," jelasnya.

Melihat sejarah panjang negara ini, pihaknya mendesak kepada pemerintah agar bersikap tegas terhadap setiap gerakan yang hendak mengganti dasar dan bentuk negara Indonesia.

"Khilafah itu tidak dibenarkan, di sini NKRI harga mati. Mereka di Palestina saja tidak hidup, kok memaksakan di sini," tandasnya.

"Sama artinya ingin mendirikan negara di dalam negara. Pemerintah harus tegas, (khilafah) harus dilarang!" imbuhnya.

Ia mengimbau kepada pemerintah untuk lebih mengakomodasi kelompok Islam yang toleran ke dalam pemerintahan. Menurutnya, banyak sejarah yang harus diluruskan, terutama tentang peran ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Hal ini penting untuk mengeleminasi gerakan-gerakan yang hendak mendorong umat Islam untuk melawan pemerintah yang sah dengan mengganti ideologi bangsa.

"Jangan menutupi peran ulama yang sebagian besar dari kalangan pesantren ini. Misalnya dengan memperlihatkan pahlawan-pahlawan dari NU, karena waktu menumpas penjajahan para santri banyak berperan. Siang mengaji, malamnya bergerilya memanggul senjata," jelasnya.

Menurutnya, salah satu sosok dari kalangan ulama yang pantas mendapat gelar pahlawan ini adalah KH Soleh Darat dari Semarang.

Baca juga: Pidato Hari Lahir Pancasila, Jokowi Singgung Komunisme

Dari tangan dingin KH Soleh Darat ini lahirlah KH Hasyim Asyari, pendiri NU dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia saat ini.

"Mbah Soleh Darat ini pula yang membuka pengetahuan Kartini tentang kandungan Al Quran, sehingga ada kalimat dari gelap terbitlah terang ini. Karena Mbah Soleh mengarang kitab terjemah Al Quran berbahasa Jawa yang dihadiahkan ke Kartini," ucapnya.

Kompas TV Sapa Indonesia akan kupas sejarah Hari Lahir Pancasila, bersama Asvi Warman Adam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com