Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jaksa: Persidangan Ahok Bukan karena Tekanan Massa

Kompas.com - 20/12/2016, 10:44 WIB
Nursita Sari

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum (JPU) Ali Mukartono mengatakan, proses hukum dan persidangan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak terjadi karena adanya tekanan massa.

Pernyataan tersebut disampaikan untuk menanggapi nota keberatan (eksepsi) penasihat hukum Ahok yang menyebut proses hukum kliennya dipengaruhi oleh tekanan massa dan bermula ketika Buni Yani mengunggah ulang potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang telah diberi keterangan.

Jaksa mengakui bahwa rekaman video pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang diunggah di media sosial oleh Buni Yani menimbulkan dinamika dalam masyarakat.

"Tetapi bukan karena tekanan massa sebagai akibat video yang diunggah Buni Yani itulah maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan itu di persidangan ini," kata Ali dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar bekas gedung PN Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada, Selasa (20/12/2016).

Ali menuturkan, Ahok harus mempertanggungjawabkan pernyataannya saat berpidato di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah Ayat 51.

Ahok didakwa telah melakukan penodaan agama.

"Delik yang didakwakan Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. Berdasarkan uraian di atas, maka persidangan perkara ini karena pelimpahan penuntut umum, bukan karena tekanan massa," kata Ali.

Tim penasihat hukum Ahok sebelumnya menyebutkan proses hukum Ahok dipengaruhi oleh tekanan massa. Menurut mereka, mulanya tidak ada pihak yang protes atau tersinggung dengan isi pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

Begitu pun saat video tersebut diunggah Dinas Komunikasi dan Informasi DKI Jakarta. Namun, setelah sembilan hari, video pidato Ahok yang telah diberi keterangan oleh Buni Yani tersebar. Dari sanalah massa mulai protes hingga berujung pada aksi pada 14 Oktober, 4 November, dan 2 Desember 2016.

Tim penasihat hukum Ahok menyebut aksi-aksi itu sebagai tekanan massa.

Kompas TV Ahok Minta Mendagri Tunggu Hasil Sidang Soal Statusnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang



Terkini Lainnya

Seorang Anggota TNI Meninggal Tersambar Petir di Cilangkap, Telinga Korban Pendarahan

Seorang Anggota TNI Meninggal Tersambar Petir di Cilangkap, Telinga Korban Pendarahan

Megapolitan
Harga Bawang Merah di Pasar Senen Blok III Naik Dua Kali Lipat Sejak Lebaran

Harga Bawang Merah di Pasar Senen Blok III Naik Dua Kali Lipat Sejak Lebaran

Megapolitan
Dua Anggota TNI yang Tersambar Petir di Cilangkap Sedang Berteduh di Bawah Pohon

Dua Anggota TNI yang Tersambar Petir di Cilangkap Sedang Berteduh di Bawah Pohon

Megapolitan
Imam Budi Hartono dan Partai Golkar Jalin Komunikasi Intens untuk Pilkada Depok 2024

Imam Budi Hartono dan Partai Golkar Jalin Komunikasi Intens untuk Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Baru 2 Bulan Indekos di Bekasi

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Baru 2 Bulan Indekos di Bekasi

Megapolitan
Dua Anggota TNI Tersambar Petir di Cilangkap, Satu Orang Meninggal Dunia

Dua Anggota TNI Tersambar Petir di Cilangkap, Satu Orang Meninggal Dunia

Megapolitan
Pasien DBD Meningkat, PMI Jakbar Minta Masyarakat Gencar Jadi Donor Darah

Pasien DBD Meningkat, PMI Jakbar Minta Masyarakat Gencar Jadi Donor Darah

Megapolitan
Sembilan Tahun Tempati Rusunawa Muara Baru, Warga Berharap Bisa Jadi Hak Milik

Sembilan Tahun Tempati Rusunawa Muara Baru, Warga Berharap Bisa Jadi Hak Milik

Megapolitan
Fraksi PSI: Pembatasan Kendaraan di UU DKJ Tak Cukup untuk Atasi Kemacetan

Fraksi PSI: Pembatasan Kendaraan di UU DKJ Tak Cukup untuk Atasi Kemacetan

Megapolitan
Polisi Pesta Narkoba di Depok, Pengamat: Harus Dipecat Tidak Hormat

Polisi Pesta Narkoba di Depok, Pengamat: Harus Dipecat Tidak Hormat

Megapolitan
Belajar dari Kasus Tiktoker Galihloss: Buatlah Konten Berdasarkan Aturan dan Etika

Belajar dari Kasus Tiktoker Galihloss: Buatlah Konten Berdasarkan Aturan dan Etika

Megapolitan
Cari Calon Wakil Wali Kota, Imam Budi Hartono Sebut Sudah Kantongi 6 Nama

Cari Calon Wakil Wali Kota, Imam Budi Hartono Sebut Sudah Kantongi 6 Nama

Megapolitan
Sepakat Koalisi di Pilkada Bogor, Gerindra-PKB Siap Kawal Program Prabowo-Gibran

Sepakat Koalisi di Pilkada Bogor, Gerindra-PKB Siap Kawal Program Prabowo-Gibran

Megapolitan
Foto Presiden-Wapres Prabowo-Gibran Mulai Dijual, Harganya Rp 250.000

Foto Presiden-Wapres Prabowo-Gibran Mulai Dijual, Harganya Rp 250.000

Megapolitan
Pemprov DKI Diingatkan Jangan Asal 'Fogging' buat Atasi DBD di Jakarta

Pemprov DKI Diingatkan Jangan Asal "Fogging" buat Atasi DBD di Jakarta

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com