Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pak Ogah" dari Bandung Ini Terselamatkan oleh Mesin Cuci

Kompas.com - 29/11/2016, 14:25 WIB
Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com – Suhenda alias Muis (45) bersama dua orang temannya bergegas ke putaran balik di median Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Tanpa basa-basi, mereka menjalankan profesinya menjadi "Pak Ogah" alias tukang pengatur lalu lintas di putaran balik.

Tidak terasa tiga jam berlalu. Ketiga orang ini pun harus menyudahi pekerjaannya. Tiga orang rekannya sudah siap menggantikan tugas untuk membantu pengemudi kendaraan berputar arah. Muis pun beristirahat sejenak sambil melihat temannya menghitung penghasilan mereka.

"Alhamdulillah, setiap orang dapat Rp 40.000. Lebih besar dari kemarin Rp 30.000," kata Muis kepada Kompas.com.

Muis kembali ke rumahnya yang bisa ditempuh 10 menit berjalan kaki dari "tempat kerjanya" di Kelurahan Pasirluyu, Kecamatan Regol, Kota Bandung.

Sesampainya di rumah, Muis memberikan uang itu kepada istrinya yang tengah menjaga warung kecil berukuran 2 meter x 3 meter.

Ukuran warung itu sama kecilnya dengan rumah warisan orangtuanya. Beberapa bagian bangunan itu sudah lapuk. Sebagian atapnya sudah terlihat rusak sehingga bocor jika hujan tiba.

Di belakang warung, tumpukan cucian dan jemuran terlihat bergelantungan di atas genting.

Setelah makan dan bermain dengan Prianda Dalma, anak bungsunya, Muis memasukkan cucian itu satu per satu ke dalam dua mesin cuci tersebut.

"Untung ada mesin cuci. Saya terbantu dan terselamatkan," ujarnya.

Mesin cuci ini merupakan pemberian PT Astra International, Tbk dalam program corporate social responsibility (CSR) pada 2014.

Selain memperoleh satu unit mesin cuci dan satu pengering, Muis juga mendapatkan pekerjaan laundry berupa pencucian wearpack atau baju bengkel dari Astra.

Muis mengaku sangat terbantu oleh keberadaan mesin cuci tersebut. Jika tidak, nasibnya bisa serupa dengan beberapa tetangganya yang terjerat bank keliling atau rentenir. Bagaimana tidak, bunga yang dipatok mencapai 25 persen.

"Kalau pinjam Rp 100.000, harus balikin Rp 125.000. Nah, yang Rp 100.000 ini enggak utuh dapat segitu, tapi di potong Rp 10.000 untuk tabungan. Jadi yang kita dapat hanya Rp 90.000," tuturnya.

Beberapa warga di sana tidak punya pilihan selain hidup dalam jerat bank keliling.

Sebelum mendapat bantuan dari Astra, Muis berjuang keras agar tidak meminjam ke rentenir. Namun, beban yang ditanggungnya semakin berat sehingga dorongan untuk meminjam dan terus meminjam selalu menggelayutinya.

Muis memiliki seorang istri dan tiga orang anak, yakni Devi Oktaviani, Senda Aditya, dan Prianda Dalma. Dua anak terbesarnya kini duduk di bangku SMK dan SD.

"Biaya kami sehari-hari sudah cukup besar dengan penghasilan saya hanya Rp 30.000-Rp 40.000 per hari," tuturnya.

Beberapa tahun terakhir ini tanggung jawabnya bertambah. Ia juga harus membantu kakak dan ketiga anaknya yang ditinggalkan oleh kepala keluarganya. Setidaknya, ia ikut memikirkan biaya sekolah dan makan untuk keluarga kakaknya.

"Kemarin sepatu anak kakak saya sobek di sana-sini, sudah enggak bisa dipakai. Saya tidak tega melihatnya, menyedihkan sekali. Saya kasih uang untuk beli sepatu," kata dia.

Belajar tata kelola usaha

Pada awalnya, pengelolaan usaha laundry ini akan diberikan pada ibu-ibu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga.

Namun, karena ada banyak pemuda yang menganggur dan kerja serabutan menjadi Pak Ogah, pengelolaan laundry diberikan kepada mereka.

Begitu menerima bantuan mesin cuci, Muis bingung cara mengoperasikannya. Setelah bisa, ia pun masih bingung, kenapa baju bengkel yang dicucinya masih meninggalkan noda oli. Ia pun berguru pada temannya yang memiliki usaha pencucian.

"Ternyata harus menggunakan pemanas. Tapi listriknya kesedot banyak," ucapnya.

Muis memutar otak. Ia tidak mungkin menggunakan pemanas karena tagihan listrik bisa membengkak.

Akhirnya ia mempekerjakan temannya untuk menyikat dengan upah Rp 3.000 per wearpack. Ada tiga orang pekerja, masing-masing bertugas menyikat, menyetrika, dan mencari order.

Muis mencari pesanan lain untuk keuntungan usahanya. Pencucian wearpack ini dibatasi hanya seminggu dalam setiap bulan atau sekitar 105 pakaian. Itu karena pengerjaannya lebih berat dan keuntungannya kecil.

Tiga pekan lainnya ia berkeliling mencari pesanan laundry dari indekos mahasiswa dan pekerja di daerahnya dengan tarif Rp 7.000 per kilogram.

"Secara tidak langsung, saya belajar ilmu manajemen dan marketing. Bagaimana mengelola laundry dan bagaimana membuat usaha ini menguntungkan, berkah, dan berkelanjutan," kata dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com