Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berharmoni dengan Gunung Api

Kompas.com - 13/01/2012, 20:04 WIB
Ketua Tim Penulis: Ahmad Arif
Tim Penulis: Indira Permanasari, Agung Setyahadi, Agustinus Handoko, Cornelius Helmy Herlambang


"HIDUP berharmoni berarti jangan sampai ada korban jiwa saat gunung api mencari keseimbangan baru,” ujar Indyo Pratomo, vulkanolog dari Museum Geologi, Bandung.

Siang itu, Indyo menelusuri jejak letusan Gunung Agung melalui singkapan di Tukad Lengu di sekitar Sogra dan Badeg Dukuh. Dia menemukan kenyataan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki waktu yang cukup untuk mengungsi saat Gunung Agung meletus pada tahun 1963.

Berdasarkan perlapisan material di Tukad Lengu, ada endapan awan panas yang terdiri atas abu, kerikil, dan pasir. Di atas endapan awan panas itu terdapat endapan lahar yang lebih padat. Ada pula material erosi awan panas yang lebih terstruktur. ”Lapisan material ini menunjukkan sekuen letusan yang terjadi beberapa kali,” ujar Indyo.

Sekuen letusan itu menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan diri sebelum terjadi letusan besar pertama pada Maret 1963. Kejadian letusan per satuan waktu itu merupakan peringatan alam yang bisa menjadi landasan mengosongkan lokasi yang rawan bencana.

”Pengalaman di Gunung Agung ini adalah pelajaran berharga. Pemangku kebijakan harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai hidup berharmoni dengan gunung api,” kata Indyo.

Konsepsi tentang harmoni menjadi dilematis karena, sikap budaya sebagian masyarakat Badeg Dukuh dan Sogra waktu itu jelas-jelas berbeda. Sebagian dari mereka yang bertahan di pura itu meyakini bahwa kematian karena letusan Gunung Agung bukanlah hal yang perlu dihindari. Mereka bahkan bersiap menyongsongnya dengan odalan. Adapun mitigasi modern menekankan tiadanya korban (zero victim) dalam letusan gunung api.

Wakil Bupati Karangasem I Made Sukarena mengakui, mitigasi bencana untuk mengantisipasi letusan Gunung Agung merupakan proses yang tak gampang. Alasannya, bagi sebagian masyarakat Bali, gunung itu masih dianggap bukan penyebab bencana. Sebaliknya, bencana akan datang karena ulah manusia sendiri yang merusak kesucian gunung.

Pemerintah, kata Sukarena, lebih memilih pendekatan fisik dengan menyiapkan infrastruktur jalan agar proses evakuasi mudah dilakukan seandainya terjadi bencana.

Meski demikian, Made Sukarena mengatakan, belum semua jalan ke arah permukiman penduduk di sekitar puncak Gunung Agung selesai dibangun. Akses ke Desa Ban, Kecamatan Kubu, misalnya, masih sulit karena masih berupa jalan tanah. Padahal, desa itu hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari puncak Gunung Agung dan dihuni sekitar 8.500 orang.

Sementara Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karangasem Sutirtayasa mengatakan, proses mitigasi dan sistem peringatan dini di Gunung Agung belum disusun. Alasannya, lembaganya baru terbentuk pada 2011. Setelah para pejabat resmi dilantik, rencana kerja, termasuk merumuskan mitigasi bencana, akan disusun mulai 2012.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com