SEMARANG, KOMPAS.com - Pengamat Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro (Undip), Nur Hidayat Sardini, mendorong sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional terbuka agar rakyat dapat ambil peran dalam memilih pemimpin yang diinginkan.
“Sistem ini (pemilu proporsional terbuka) itu kan penting ya untuk menegaskan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat itu kan besar. Paling kurang dalam pemilu, namanya kedaulatan pemilih,” ungkap Nur, Jumat (9/6/2024).
Pasalnya, pemilih berpotensi terdampak langsung oleh kebijakan yang dibuat politisi yang bekerja dalam pemerintahan.
Baca juga: Tanggapi Isu Keretakan Hubungan Jokowi dan Megawati, FX Rudy: Tahun Politik, Semua Digoreng Terus
Menurutnya, sistem terbaik sekarang itu sistem terbuka dengan penentuan pemenang pemilu ditentukan suara terbanyak.
Di samping memiliki kelebihan kedaulatan pemilih dalam menentukan pemimpinnya, ia menilai adanya ikatan antara pemilih dan calon pemimpin.
“Karena dia ada keharusan untuk bersifat akuntabilitas, untuk datang ke konsituen,” lanjut Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pada tahun 2008-2011 itu.
Sistem ini jelas jauh berbeda dengan sistem Pemilu proporsional tertutup yang hanya memungkinkan rakyat memilih secara terbatas.
Pada sistem proporsional tertutup, pemilih dan yang dipilih tidak memiliki hubungan psikologis. Hanya ada hubungan politis antara pemilih, konstituen, dan calon.
Sehingga, nantinya pemerintahan cenderung bersifat elitis dan jauh dari rakyat. Rakyat pun tidak berdaulaut karena pemilu dipaket oleh parpol.
“Kalau tertutup, pemilih hanya disodorkan nama dan disuruh memilih. Nanti yang jadi atau tidak ya partai politik. Itu proporsional murni seperti pada masa orde baru. Bagaimana mungkin kita memilih untuk sesuatu yang kita sendiri tidak tahu?” ungkapnya.
Ia mengkhawatirkan legislator yang nantinya terpilih bisa saja merasa tak bertanggung jawab pada mereka yang sudah memilih.
“Yang dipilih tidak merasa bertanggung jawab pada yang dipilih. Pemilih tidak akan bergairah. Calon juga akan tidak merasakan adanya peluang untuk menang, kecuali mereka yang deket dengan yang di pusat, ketum parpol misalnya,” ungkapnya.
Pihaknya juga menceritakan sistem pemilu proporsional tertutup atau murni itu pernah diterapkan di Indonesia pada masa orde baru saat Presiden Soeharto memimpin Indonesia selama puluhan tahun.
“Pada masa Orde Baru itu kan kita hanya memilih nomornya saja. Ada daftar 1, 2, 3, 4, 5 misalnya. Nanti partai yang akan menentukan siapa caleg yang jadi berdasarkan proporsi. Otoritas partai sangat-sangat besar di sana,” bebernya.
Hal tersebut baginya jelas membuat gairah siapa pun untuk terjun ke dunia politik semakin mengecil.
Sehingga, Nur Hidayat tetap pada pendiriannya bahwa sistem proporsional terbuka menjadi yang paling tepat untuk negara Indonesia saat ini.
Untuk itu, pihaknya meyakinkan untuk saat ini proporsional terbuka menjadi pilihan terbaik yang dapat diterapkan dalam pemilu di Indonesia.
“Sedangkan sistem proporsional terbuka proporsinya itu 50:50 dan partisipasi partai masih tetap ada. Apalagi nanti dikaitkan dengan penentuan pemenang dalam satu dapil. Penentuan itu berdasarkan suara terbanyak. Nah, itu kita sekarang,” tandasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.