KOMPAS.com - Prabumulih dikenal sebagai kota penghasil nanas termanis di Indonesia. Kota yang terbentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Muara Enim ini merupakan daerah perlintasan antara kota-kota kabupaten dan Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
Wali Kota Prabumulih Ridho Yahya menjelaskan, wilayah yang dipimpinnya itu merupakan kota dagang dan jasa karena berada di tengah perlintasan kabupaten dan kota Sumsel. Tak hanya itu, kota ini juga dikenal sebagai kota gas dan minyak.
Hal itu karena 96 persen warga di Prabumulih telah menikmati jaringan gas bumi untuk rumah tangga. Atas pencapaian ini, Prabumulih dijuluki sebagai Kota Gas terbesar di Indonesia.
“Prabumulih memiliki banyak julukan. Hal ini menandakan banyaknya potensi yang bisa digali dari Prabumulih,” kata Ridho saat berkunjung ke kantor Kompas.com di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Baca juga: Walkot Ridho Sebut “Fokus” Jadi Kunci Keberhasilan Program Kerja Pemkot Prabumulih
Mengenai nanas, Ridho menjelaskan bahwa buah yang dihasilkan Prabumulih ini mengandung kadar air yang tinggi sehingga memiliki rasa manis. Ini yang membuat nanas Prabumulih banyak disukai masyarakat.
Meski demikian, pihaknya tidak puas hanya menjual rasa nanas saja. Terlebih, nanas memiliki masa kadaluarsa. Di sisi lain, kulit nanas, termasuk daunnya, juga kerap terbuang percuma sebagai limbah atau hanya digunakan sebagai pakan ternak.
Pihaknya kemudian melihat potensi lain dari kulit nanas, yakni diinovasikan sebagai pewarna baju dan diolah secara tradisional. Warna yang dihasilkan dari daun nanas memiliki corak yang lembut. Cocok digunakan untuk bahan berwarna putih.
Tak hanya kulit, Ridho menjelaskan bahwa daun nanas juga dapat dijadikan serat. Ia menjelaskan bahwa benang yang dihasilkan dari serat daun nanas Prabumulih merupakan yang terkuat di Indonesia. Uji laboratorium soal ini sudah dilakukan setelah dilakukan di Institut Pertanian Bogor (IPB).
“Ekspor benang dari daun nanas memiliki banyak keuntungan, seperti permintaan tidak terbatas, kuat, serta tidak memiliki tenggat kadaluarsa,” ujarnya.
Ridho melanjutkan, saat ini, pihaknya sudah mengadakan kesepakatan dengan perusahaan di Singapura untuk melakukan ekspor benang dari daun nanas. Sayangnya, ada tantangan berupa ketersediaan alat pengolah daun nanas menjadi benang.
"Perusahaan itu minta ekspor sebesar 2 ton per bulan, sedangkan kami hanya mampu menyediakan 200 kilogram (kg) (karena keterbatasan alat)," kisahnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah pusat atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat membantu Pemerintah Kota (Pemkot) Prabumulih dalam menyediakan alat pengolah benang dari kulit nanas. Dengan demikian, pihaknya dapat memenuhi kebutuhan ekspor benang berbahan baku kulit nanas hingga ke Eropa.
“Produk benang dari kulit nanas yang dihasilkan Prabumulih juga diminati di Eropa. Ini karena benangnya kuat dan ramah lingkungan. Jika diekspor ke Eropa, harganya bisa mencapai Rp 360.000 per kg. Sementara, di Singapura, harganya hanya Rp 180.000 per kg,” ujar Rido.
Saat mengunjungi Kompas.com, Ridho tak hanya bercerita mengenai potensi wilayah yang ia pimpin itu. Sisi lain mengenai tantangan yang dihadapinya pun turut ia bagi. Ia menjelaskan bahwa dirinya menghadapi beragam tantangan yang harus segera diselesaikan, mulai dari kemiskinan, pengangguran, hingga infrastruktur.
Untuk mengatasi tantangan kemiskinan dan pengangguran, kata dia, Pemkot Prabumulih memiliki program pembinaan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) untuk mengembangkan keterampilan masyarakat. Pemkot juga mendorong sejumlah LKP untuk menjalin kerja sama dengan banyak industri.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.