KOMPAS.com - Kota Sawahlunto yang berada di Provinsi Sumatera Barat dikenal memiliki julukan sebagai Kota Arang.
Julukan Kota Arang yang disematkan kepada Kota Sawahlunto ternyata terkait dengan statusnya sebagai kota pemilik tambang batu bara tertua di Asia Tenggara.
Baca juga: Sejarah Museum Kereta Api Sawahlunto dan Penampakan Mak Itam, Saksi Kejayaan Ombilin
Arang atau batu bara merupakan harta karun emas hitam yang merubah desa di lembah kecil ini berubah menjadi sebuah kota tambang pada sekitar akhir abad ke-19.
Perkembangan Sawahlunto sebagai kota tambang melahirkan peradaban baru yang terkait dengan sejarah perkembangan industri di pantai barat Sumatera, khususnya kawasan Sumatera Barat.
Bahkan pada tahun 2019 lalu, Tambang Batu Bara Ombilin (TBBO) Sawahlunto bahkan telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.
Baca juga: Beroperasinya Lagi Kereta Mak Itam dan Sejarah Jalur Sawahlunto-Muaro Kalaban
Dilansir dari laman Indonesia.go.id, nama Sawahlunto diambil dari kata “sawah” dan sungai “Lunto”, karena lembah subur yang dibelah oleh aliran Sungai Lunto itu dijadikan sawah oleh warga setempat.
Namun setelah geolog muda Belanda bernama Willem Hendrik de Greeve pada 1868 menemukan kandungan batu bara di daerah Ombilin, lembah Sungai Lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batu bara.
Baca juga: Wisata Sejarah ke Sawahlunto, Kunjungi Lubang Tambang Batu Bara
Laporan de Greeve ke Batavia yang disusun pada 1871 dengan judul “Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra Weskust” membuat Belanda memutuskan untuk melanjutkan penemuan itu menjadi kegiatan eksplorasi.
Selanjutnya, de Greeve kembali melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat pada 1872. Namun penemu batu bara di Ombilin ini tewas setelah mengalami kecelakaan di Sungai Indragiri.
Dalam buku Membaranya Batu Bara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat 1892-1996 (2016), yang ditulis Erwiza Erman, dikatakan bahwa sebelum penemuan minyak dan sumber bahan bakar lainnya, batu bara berperan penting dalam mendukung berbagai kegiatan perekonomian.
Penelitian de Greeve kemudian dilanjutkan oleh dua insinyur tambang asal Belanda yaitu Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth pada tahun 1874.
Veth kemudian menulis laporan yang berjudul “The Expedition to Central Sumatra”. Lebih lanjut, Erwiza dalam bukunya mengatakan bahwa laporan tersebut yang kemudian mendasari pembangunan jalur kereta api dari lokasi eksploitasi tambang menuju pelabuhan Emmahaven atau yang kini dikenal sebagai Teluk Bayur.
Sementara Cluysenaer menulis tiga laporan rinci terkait pengembangan pengelola tambang di Ombilin Sawahlunto pada 1875 dan 1878.
Pada laporanya, Cluysenaer menawarkan anggaran yang lebih rasional. Untuk rel kereta yang membelah lembah barat-timur, misalnya, membutuhkan biaya sekitar 24,4 juta gulden.
Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang dan pendukungnya di Sawahlunto yang dilakukan pada tahun 1883 hingga 1894.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.