SEMARANG, KOMPAS.com - Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 mendatang, Ketua Komunitas Sosial Tionghoa Boen Hian Tong, Harjanto Halim mengimbau masyarakat untuk mewaspadai politik identitas yang memecah belah bangsa.
Pasalnya, politik identitas selalu digunakan oleh para politisi untuk mencari dukungan masyarakat seperti yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Baca juga: Nasaruddin Umar Yakin Politik Identitas Mereda pada Pemilu 2024
"Politik identitas itu akan selalu dimainkan oleh siapapun, cepat, dan efeknya gede. Amerika yang sudah seperti itu saja main kok. Kalau gitu pinter-pinteran rakyat aja mengenali politik identitas," tutur Harjanto, Minggu (21/5/2023).
Hal itu disampaikan usai peringatan pahitnya tragedi 98 dalam kegiatan makan rujak pare sambal kecombrang di Gedung Rasa Dharma, Kompleks Pecinan, Kota Semarang.
Harjanto mencontohkan, praktik politik identitas yang dilakukan oleh Donald Trump. Meski sulit dihindari, Ia harap praktik semacam itu tidak kental terjadi dalam kontestasi pemilu di Indonesia.
"Saya pun dengan sedih mengatakan Trump menang karena politik identitas. White supremacy, imigram Meksiko dituduh, Amerika number one, wah itu sangat identitas banget. Jadi hal seperti itu selalu dipakai politisi. Jadi rakyat jangan memilih atas dasar itu," lanjutnya.
Pasalnya, seperti yang pernah terjadi pada Pilkada DKI Jakarta, politik identitas malah memecah belah bangsa ke dalam sejumlah kubu.
Lebih lanjut, ia menilai bangsa Indonesia hari ini sudah cukup baik dalam menerima keragaman. Menurutnya, terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama, secara garis besar bangsa Indonesia memiliki satu aspirasi dan tujuan yang sama.
"Kemudian Indonesia ini sudah bersatu, terkadang preferensi dan mukanya (suku/ras) berbeda, tapi aspirasinya mirip. Seperti Jose (Ketua Panitia) mukanya Tionghoa, tapi dia jago ndalang. Enggak papa karena kita Indonesia," jelasnya.
Di samping itu, ia menyebutkan meskipun Semarang APBD nya tidak sebesar kota metropolitan lainnya, tapi kohesi, toleransinya, kebersamaannya, ia nilai lebih tinggi.
"Ekonomi di Jakarta lebih tinggi, tapi nyaman atau enggak itu lho. Orang Jakarta selalu bilang Semarang enak ya. Bukan berarti terus kita enggak bangun kota, tapi (toleransi) itu ada nilainya, karena kohesi dan toleransi ke depan akan jauh lebih susah dicapai daripada membangun gedung bertingkat," ungkapnya.
Baca juga: 6 Rumusan Piagam Surabaya, Salah Satunya Tolak Politik Identitas
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.