PERKARA Laporan Model A (Laporan dari pihak Kepolisian) untuk tragedi Kanjuruhan sudah selesai vonis pada pengadilan tingkat pertama pada Maret 2023 lalu.
Banyak pihak yang menilai vonis tersebut jauh dari rasa keadilan, khususnya jika melihat dampak yang diakibatkan peristiwa tersebut. Sebanyak 135 korban tewas berbanding vonis 1,5 tahun penjara, bahkan putusan bebas.
Dilihat dari dampaknya pula, peristiwa Kanjuruhan tidak bisa dianggap sebagai perkara kecil. Termasuk dalam kaitannya dengan jaksa sebagai penuntut, harus melihat perkara tersebut sebagai perkara besar yang serius.
Namun jika melihat line up tim jaksa yang dipimpin Aspidum Kejati Jatim, maka bisa dibilang susunan tersebut kurang maksimal.
Sudah seharusnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur turun langsung memimpin penuntutan perkara tersebut.
Tanpa meremehkan kompetensi jaksa lain, kehadiran seorang pimpinan dalam tim tentunya memberi suntikan moral yang lebih kepada para jaksa.
Apalagi Kejaksaan masih menganut sistem komando di mana atasan jaksa masih memiliki wewenang yang luas untuk memberi arahan kepada anak buahnya, termasuk konstruksi penuntutan.
Berbeda tentunya dengan hakim yang memiliki independensi pada masing-masing hakim sehingga wewenang ketua pengadilan kepada masing-masing hakim tidak luas, bahkan tidak bisa mengintervensi hakim.
Berkaca pada perkara besar lainnya, yakni kasus persetubuhan anak yang dilakukan Herry Wirawan di Jawa Barat, di mana Kajati Jabar Asep N Mulyana turun langsung memimpin tim Jaksa yang melakukan penuntutan.
Pada perkara tersebut, tim Jaksa dengan pimpinan Kajati langsung menuntut Herry Wirawan dengan pidana mati.
Tuntutan ini tentunya cukup berat dalam perkara serupa. Keberanian ini pastinya tidak lepas dari kehadiran langsung Kajati dalam tim Jaksa.
Ibarat perang, Kajati Jabar laksana seorang jenderal yang berada di garis depan pasukan, bukan sekadar pimpinan yang duduk di kemah atau garis belakang pasukan.
Lebih dari sekadar tuntutan di pengadilan tingkat pertama, Kajati Jabar bahkan mendorong banding ketika putusan yang dijatuhkan “hanya” penjara seumur hidup, bukan hukuman mati sesuai tuntutan Jaksa.
Di sini kita melihat kehadiran “panglima penuntutan” tidak hanya sekadar pencitraan, namun total hingga upaya penghabisan.
Banding Jaksa berbuah manis ketika Pengadilan Tinggi Jabar pada 4 April 2022, menerima banding mereka dan memutuskan Herry Wirawan dihukum mati.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.