Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Sasaran Politik Ekonomi Pembangunan NTT

Kompas.com - 02/04/2023, 06:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POLITIK adalah katalisator pembangunan. Dus, politik dalam berbagai pendekatan idiil adalah alat perjuangan!

Spektrum politik secara konsep amatlah luas. Termasuk di dalamnya adalah politik ekonomi, yang membedah tentang berbagai pengambilan kebijakan ekonomi untuk mengarahkan anggaran atau politik anggaran (APBN/APBD) pada kebutuhan paling fundamental daerah.

Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), pembangunan sumber daya manusia (SDM) adalah hal paling urgen.

United Nations Development Program (UNDP) selalu menggunakan Human Development Index (HDI)/Indeks pembangunan manusia (IPM) sebagai tujuan dari suatu pembangunan.

Dengan mengukur aksesibilitas publik pada sumber-sumber ekonomi/pendapatan terhadap pendidikan dan kesehatan. Tiga komponen inilah menjadi suatu modeling, untuk melihat suatu output pembangunan.

IPM dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara. Bagi Indonesia, IPM merupakan data strategis. Selain sebagai ukuran kinerja Pemerintah, IPM juga digunakan sebagai salah satu alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU).

Tiga indikator HDI/IPM di atas, menjadi suatu problem major Provinsi NTT. Dari problem kemiskinan, kelaparan, dan stunting.

Memang IPM NTT tahun 2022, jauh di bawah IPM nasional berdasarkan data referensi BPS, yakni 57,0 (kategori rendah) dan 72,91 (kategori tinggi).

Terjadi koreksi cukup dalam terhadap IPM NTT, dari 2020 sebesar 79,71. Cerita di balik data IPM NTT ini adalah pandemi Covid-19.

Efek kontingensi dari pandemi membutuhkan waktu yang agak lama untuk mengatrol IPM NTT. Pasalnya, tahun 2021 ke 2022, ekonomi telah berada di trajectory ekspansi, tapi justru IPM masih mengalami perlambatan.

Secara makro, memang konsumsi Rumah Tangga NTT belum tumbuh di atas level pra-Covid-19 atau di kisaran 2 persen (yoy), sementara tahun 2019 (pra-Covid-19 sebesar 4,58 persen yoy).

Kondisi ini disebabkan tekanan inflasi pada harga bergejolak (volatile) dan harga yang ditetapkan pemerintah (administered price).

Dengan posisi inflasi NTT yang masih 5,4 persen atau di atas sasaran inflasi, maka daya beli tergerus dan akses terhadap pendidikan dan kesehatan terkoreksi sebagai efek tular.

Secara teori, inflasi selalu berkorelasi positif dan bertambahnya angka kemiskinan!

Data BPS tentang IPM NTT, menurut saya, menggambarkan kondisi anomali. Daerah-daerah di NTT dengan kategori Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) baik seperti Manggarai Barat dan Kota Kupang, tapi IPM 2022 ada di bawah daerah-daerah dhuafa seperti di daratan Sumba, Alor, Flores Timur dan Lembata yang kapasitas fiskalnya tergantung pada transfer pusat.

Logika saya, daerah dengan IKF yang baik, sejatinya dia bisa mem-purpose pembangunannya sendiri dengan goals tiga indikator tersebut. Punya kemandirian fiskal untuk meng-create program yang relevan dengan kebutuhan major daerah.

Sebaliknya, daerah dengan IKF payah, justru IPM-nya tinggi seperti di daratan Sumba dan Timor (TTS & TTU). Daerah-daerah ini IPM-nya lebih tinggi dari rata-rata IPM di Flores bagian Barat!

Untuk daratan Lamaholot berdasarkan data referensi BPS tahun 2022, IPM Alor paling tinggi 66,6, Flotim 65,83, dan Lembata 65,47 (kategori sedang).

Jika kita bicara purpose dari politik dan pembangunan dengan meletakkan IPM sebagai indikator penting, maka daerah dengan IPM yang masih sedang dan rendah dapat diasumsikan masih memiliki mismatch antara kapasitas fiskal, program pembangunan dan prioritas serta goals-nya. Namun asumsi ini harus diuji lagi dengan data dan riset yang reliable.

Jika salah satu alat untuk memverifikasi capaian IPM kabupaten/kota di NTT adalah “politik sebagai suatu policy making,” maka pertanyaannya, kenapa daerah-daerah yang surplus politik dengan keterwakilan di eksekutif dan legislatif di kancah nasional, tapi justru angka IPM-nya masih di bawah daerah yang defisit representasi elite di level nasional dengan segala diskresi yang dipunyai?

Di sinilah perlu kehati-hatian untuk menjawabnya, agar kita punya “moral clarity” untuk melihat korelasi politik dan pembangunan di NTT.

Perdebatan tentang politik dan pembangunan NTT perlu melihat secara kritis beberapa variabel penting dari politik sebagai policy making.

Namun ada banyak variabel yang bisa digunakan untuk melihat politik dan pembangunan dalam locus NTT.

Tentu saja banyak sekali masalah di daerah. Mulai soal cash idle yang menjadi momok dari tahun ke tahun. Berkelimpahan anggaran justru mengendap dan tak terealisasi dengan baik.

Soal GCG (good and clean governance), soal prioritas dan tentu saja kapasitas fiskal daerah dan advokasi fiskal sebagai variabel penting.

Hal yang paling krusial adalah, menyelaraskan perencanaan, kapasitas fiskal dan praktik GCG di dalamnya.

Karena perencanaan pembangunan daerah terjadi secara bottom-up hingga menjadi APBD, idealnya merefleksikan kebutuhan objektif daerah.

Dan khittah utama dari APBD itu adalah “multiplier effect.” Kasarnya, kalau Anda punya APBD sekian triliun rupiah, berapa target IPM?

Dus pepatah Minang bertuah, “Basuluah mato hari, bagalanggang mato rang banyak.” Soal politik bukan barang baru. Soal pembangunan juga hal yang umum.

Tinggal bagaimana, suatu politik yang punya tujuan, agar menavigasi pembangunan dengan tolak ukur pembangunan manusia!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com